Archive for the ‘SENI DAN BUDAYA’ category

bulan diatas bara

March 31, 2013

NOVEL “BULAN DIATAS BARA”

KARYA SYAHRIAR TATO.

SATU

Sekolah Menengah Umum Suatu Siang

Panas terik laksana lidah api membakar kulit, saat para siswa SMU itu pulang. Hiruk pikuk memenuhi suasana koridor. Aneka canda dan tawa terdengar riuh rendah disela obrolan mereka.

Sekelompok siswa di salah satu pojok sekolah nampak asyik ngobrol, ketika dari arah ruang kelas III jurusan IPA muncul Donna dan Ory dengan langkah bergegas. Tas sekolahnya berayun mengimbangi gerak langkah mereka. Mata Donna bergerak lincah ceria mencari seseorang diantara siswa yang sedang ngobrol itu, namun yang dicari tak ditemukan. Keduanya lalu segera menuju arah ruang perpustakaan.

“Cari doi dulu ya. Nanti aku menyusul pulang,” janji Donna pada Ory. Ory langsung menggoda “Si doi lagi, memangnya kamu serius dengannya? Apanya sih yang menarik?” Mata Ory mencari jawaban pada mata Donna. “Si Om lebih oke, Lho!” Goda si Ory dengan genit.

Donna refleks mencubit lengan sahabatnya dengan gemas. Ory menjerit kecil, senang godaannya kena sasaran.

“Si Om lagi…….si Om Lagi…. Ambil saja untukmu kalau kau suka, aku cuma butuh duitnya.” Bisik Donna dekat telinga Ory tak kalah genit sambil tertawa. “Sudah yah, hati-hati dijalan honey, bye…”

“Thanks, sampai ketemu,” Timpal Ory.

Keduanya berpisah. Ory langsung keluar sekolah, sedang Donna menghilang di ujung koridor.

 

Surat Dari Negeri Seberang

Di Ruang Kelas III IPS Guru pelajaran bahasa Indonesia yang bertubuh gempal, berkacamata minus dan selalu terlihat berkeringat itu, sedang asyik mengajar. Ricky siswa baru asal New Zealand terlihat kontras, duduk diantara siswa lainnya. Mereka terlihat mengikuti pelajaran dengan serius.

Dari balik pintu kelas tiba-tiba muncul wajah Donna. Gadis itu memberikan isyarat pada Ricky sambil memperlihatkan sepucuk sampul surat. Gerak tubuh memberi kesan ajakan pada Ricky agar minta izin keluar kelas sejenak. Ricky tersenyum melihat gerak gerik Donna. Perjaka tampan itu membalas isyarat Donna dengan menunjukkan jam di tangannya. Maksudnya pelajaran berakhir tinggal beberapa saat lagi.

Benar juga feeling Ricky, Guru bahasa In¬donesia melirik jam tangannya dan segera menyatakan pelajaran untuk hari itu berakhir.

Para siswa bangkit dari tempat duduk masing-masing dan berlomba menghambur ke luar ruangan kelas. Ricky keluar kelas belakangan. Di depan pintu kelas ia langsung disodori surat oleh Donna.

“Suratmu, kuambil dari ruang guru. Kiriman duit ya? Traktir dong,” Canda Donna dengan manis.

Ricky menyambar surat dari tangan Donna “Wow, surprise! Akhirnya datang juga surat dari orang tuaku. Kukira mereka sudah lupa pada anaknya,” Guyon Ricky.

Ricky segera membuka sampul surat itu dan membacanya. Donna tersentak melihat ekspresi wajah Ricky, kekasihnya itu. Beberapa siswa yang kebetulan melintas di sisi mereka ikut memandang heran. Apa yang terjadi di antara pasangan itu.

“Ada apa, Ricky? Kenapa kamu kelihatan dongkol sekali?” lidik Donna serius.

Dengan lunglai Ricky menyerahkan surat di tangannya itu pada Donna “Lebih baik kamu baca sendiri surat ini. Apa yang kutakutkan akhirnya datang juga,” keluh Ricky kehilangan semangat.

 

Donna membaca isi surat dengan cermat. Setelah ia mengerti maksud surat dari orang tua Ricky, ia meremasnya dengan perasaan murung. Matanya menatap Ricky yang hanya diam dan tertunduk lesu. Tiba-tiba Donna merasa ada yang hampa dalam dirinya. Segera ia membalikkan badan dan dengan langkah gontai berlalu, sebelum air matanya jatuh berderai. Ricky hanya bisa memandang sedih langkah menjauh Donna tanpa mampu mencegahnya.

“Donna….” Desah bibirnya yang nyaris tak terdengar.

Donna terus berlalu sambil berusaha membuang bayang-bayang diri Ricky yang tengah menjeratnya dalam harapan hampa. Kedukaan jelas memayungi hatinya yang gundah.

DUA

Duka Menyelubung

Rumah kost yang ditempati Donna dan Ory berukuran tidak terlalu besar. Perabotannya pun nampak sederhana. Meski letaknya di sebuah permukiman kelas menengah. Ada sebuah kolam kecil didepannya diantara aneka bunga yang terlihat ditata cukup asri.

Malam mulai larut, suasana di depan rumah kost mereka, nampak sepi. Di jalan pun tak ada lagi orang yang lalu lalang. Tapi Donna dan Ory belum juga tidur. Kesunyian malam itu terasa terlalu berat untuk Donna.

Aku rasanya sangat berat melepaskan kepergian Ricky. Semua orang pun tahu bagaimana pergaulan di kotanya. Serba bebas dan individualistis. Tentu disana sudah menunggu gadis-gadis cantik dan agresif keluh Donna dalam hati.

Ory serasa dapat membaca apa yang berkecamuk di hati sahabatnya, karenanya ia bersedia dengan sabar berempati pada sahabatnya.

 

“Aku takut Ricky tidak akan kembali lagi, Ory. Tak terbayangkan bagaimana masa depanku tanpa dia/’Keluh Donna dengan lirih. Ory memeluk sahabatnya dan berusaha menenangkan kecamuk gundah di hati Donna.

“Jangan berpikir yang bukan-bukan, itu hanya akan menambah risau hatimu. Makin banyak kau pikir, makin pusing kepalamu. Itu tidak baik untuk kesehatanmu. Bukankah kamu yang selalu berkata; Hidup, mati, rejeki dan jodoh itu di Tangan Yang Maha Esa? Please honey, kalau memang Ricky bukan jodohmu, di sini pun dia pasti akan digaet gadis lain,” Bujuk Ory dengan lembut.

“Aku hanya khawatir Ory/’ keluh Donna lirih.

“Khawatir boleh saja, tapi jangan berlebihan dong. Kamu harus belajar meyakini kesungguhan cinta di hati Ricky. Dia kan hanya akan pergi untuk sementara waktu saja untuk menemui orang tuanya. Itu wajar, apalagi studinya di sini kan belum rampung,” ungkap Ory berargumentasi.

“Aku percaya…..percaya. Tapi tanpa Ricky, waktu akan terasa begitu lambat berganti. Mestikah aku menghitung hari dari detik demi detik. Jika terlalu lama berpisah segalanya bisa saja terjadi,” timpal Donna memelas.

“Yah tidak pas begitu kan, Non?” Potong Ory.

“Di sana Ricky pasti membutuhkan seseorang yang bisa diajak berbagi. Curhat, atau diajak minum-minum dan ke pesta atau apa saja. Nah lama-lama tentu bisa menghapuskan ingatannya padaku,” Gundah Donna.

“Lho, kok curiga amat, Non!” Goda Ory.

“Lelaki mana yang bisa dipercaya?”

Ory menghela nafas sambil menggelengkan kepalanya. la tak tahu bagaimana lagi meyakinkan hati sahabatnya.

Ujian Kejujuran

Di resto fast food, Donna menghirup minuman ringan dingin, sementara   Ricky di hadapannya tengah berusaha keras meyakinkan hati kekasihnya.

“Please, Donna, just believe me. Kalau aku mau berkhianat, mengapa harus jauh-jauh, di sini juga mungkin. Apalagi kalau saja aku naksir, belum tentu gadis itu tergoda olehku. Dan selama ini aku hanya memilihmu. Tujuh bulan lebih kita bersama, toh kejujuranku telah teruji,” berupaya Ricky membujuk Donna.

“Itu karena aku selalu di sisimu,” sanggah Donna.

“Lho, kok malah tidak percaya padaku.”

“Itu karena tiap hari kita selalu bertemu. Kita selalu mengisi waktu bersama-sama,” Potong Donna.

“Jadi Donna tidak percaya lagi padaku?” Goda Ricky.

“Aku percaya, dan sampai aku selalu percaya padamu. Tapi….” Donna terdiam kemudian melanjutkan,

“Tapi apa, Donna?” buru Ricky.

“Tapi ketahanan manusia itu selalu ada batasnya. Setelah lama berpisah tentu kita tidak bisa menyalahkan waktu kalau ada sesuatu yang berubah. Pada akhirnya manusia itu selalu bisa tergoda,” kata Donna sengit.

“Nah, itukan tanda kamu yang mulai tidak percaya,” tanggap Ricky.

“Pokoknya,idak bisa membayangkan saat itu, kalau memang itu akan terjadi,” tegas Donna.

“Lalu aku harus bagaimana?” keluh Ricky.

Dua-duanya lalu larut terdiam, hanyut pada angan masing-masing.

 

Semusim Lalu

Donna terbaring lemas di pembaringannya. Pada bangku disisi pembaringan itu Ricky dan beberapa teman siswa lainnya menunggu Donna siuman dari pingsannya.

Ketika Donna membuka matanya ia tertegun sejenak melihat begitu banyak teman siswanya di sekeliling pembaringannya. Ory memperkenalkan seorang di antara mereka, Ricky namanya.

Tatap mata keduanya beradu dengan lekat.

“Non, ini Ricky yang menolongmu. Ia siswa pertukaran pelajar asal Selandia Baru.” Ory memperhatikan reaksi Donna sesaat, kemudian berbisik “Dia suku Maori. Sekarang satu sekolah dengan kita, cuma kelasnya beda. Ia anak kelas III IPS.”

Ory mengambil tangan Donna dan menjabatkannya dengan Ricky. Bibir Donna tersenyum, “Terima kasih.”

Itulah awal gita cinta diantara keduanya yang bersemi semusim lalu. Dan mereka jadi sahabat kental. Sering jalan bareng dengan Ory. Tetapi mereka merasa mood jika berdua saja.

Menikmati kemesraan, tak segan Ricky mengantar Donna ke sekolah model yang tengah ditekuninya. Hatinya sangat senang menyaksikan bagaimana kekasihnya itu melenggang luwes di atas cat walk, untuk kegiatan semacam itu Ricky cukup sabar menunggu.

Tapi tanpa sepengetahuan keduanya, ada sepasang mata lelaki separuh baya yang bagai bayang selalu menguntit kemanapun mereka pergi. Dalam tatap mata lelaki itu jelas tergambar perasaan dongkol yang membatu.

Suatu sore Donna dalam perjalanan pulang diantar Ricky menumpang mikrolet. Sesaat baru turun dari angkutan kota itu, tiba-tiba seseorang menodongkan badik pada Ricky. Sang lelaki misterius mencoba menguras seluruh barang berharga milik Ricky. Donna jadi sangat cemas menyaksikan kejadian itu, Ricky juga bingung dan menuruti saja keinginan penodong itu. Namun entah keberanian apa yang menyusupi nyali Donna, ia tiba-tiba saja berteriak sekuat tenaga yang membuat si penodong panik. Apalagi terlihat beberapa lelaki yang berada tak jauh dari tempat itu segera bergegas mendatangi.

Si penodong kian panik dan nekad menikamkan badik ke arah Ricky. Tapi Ricky dengan refleks sempat mengegos sehingga hanya menyerempet sedikit di lengannya. Si penodong segera melarikan diri, dalam kejaran orang-orang.

Donna menangis dengan panik melihat lengan kekasihnya mengucurkan darah, tapi Ricky tenang saja, sambil membujuk menenangkan Donna.

Luka Jelang Perpisahan

Luka yang tergores saat jelang perpisahan mulai nyeri terasa. Dan malam adalah selubung gelap yang menyungkupkan ketidakpastian. Saat-saat begitu selalu terngiang ditelinga Donna bisik manis kekasihnya.

“Percayalah, honey,…… setiap saat aku hanya punya rindu padamu. Aku akan pulang pada kesempatan pertama aku punya. Still be¬lieve in me, darling. Berilah aku kekuatan agar mampu menyampaikan tentang hubungan kita dengan kedua orang tuaku.”

Mengingat kenangan itu membawa sedikit ketenangan di hati Donna, Meski ia sadar keyakinan itu tak bisa memenuhi seluruh rasa percaya dalam hatinya. Tapi hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang, menumbuhsuburkan kepercayaan dan juga harapan.

Sementara di tempat lain Ricky pun tengah didera gelisah di rumah kostnya. Pintu yang sudah rapat tertutup amat dibencinya, karena jadi penegas jarak yang terbentang antara dirinya dengan Donna yang telah menyita cintanya. Tapi ia dibuat tak berdaya dalam situasi yang serba menekan itu. Dipadamkannya bohlam di kamarnya demi mengurangi tekanan jiwa di batinnya.

Ketika lolongan anjing terdengar nyaring menggonggong, Ricky terkulai. Tidurnya menyusup kedalam hening malam.

TIGA

Dua Hati Yang Gamang

Menjelang keberangkatan Ricky, membuatnya keduanya repot berbenah. Koper dan tas diisi dan dirapihkan, kemudian disusun di pojok ruangan. Keduanya memandangi koper dan tas itu dengan hati yang gamang. Itulah tanda-tanda perpisahan yang perlahan dibangun. Esok hari rasanya sudah berkejaran datang. Ricky akan segera ke Wellington, Selandia Baru.

Sesaat kemudian keduanya saling berpandangan. Ada perasaan berat yang tak mampu terucapkan. Hanya saling pandang. Ya, saling pandang yang mencoba mempertautkan dua hati yang terpaksa harus saling rela berpisah. Ada senandung kesedihan yang diam-diam berlagu di antara hati yang tersedu. Tanpa sadar Donna malah tak lagi mampu membendung air mata yang tumpah bergulis di pipinya.

Ricky yang menyaksikan bulir-bulir air mata itu, ikut hanyut dalam nuansa kesedihan. Tangannya dengan tanpa sadar telah melingkar di bahu Donna dengan lembut. Donna pun membenamkan wajahnya ke dada Ricky. Sang kekasih pun memeluknya dengan erat dalam pelukannya.

Donna merasa tentram dalam pelukan itu. Mereka pun hanyut diantara kesedihan dan romantika cinta yang membara. Air mata yang bergulir dan membasahi dada Ricky sejenak mengguyurkan kesejukan yang menenangkan. Ada rasa tak ingin berpisah, tapi mereka diluar kuasa menghentikan keharusan itu.

“Kamu tahu, honey, tak setitik pun keinginanku untuk pergi meninggalkanmu. Di sini terasa sudah kutemukan labuhan cintaku, seluruh hasrat hidupku,” bisik Ricky ke telinga Donna.

“Sungguh?”

“Sungguh.”

Ricky semakin mengeratkan pelukan pada Donna sebagai bukti bahwa ia tengah bersungguh-sungguh dengan kalimatnya. lalu Ricky kembali berkata, “Orang tuaku di Wellington sana, mengkhawatirkan keberadaanku di sini. Apalagi suasana politik sementara kurang akrab dengan orang asing. Suasana yang kacau ini jelas tak bisa menenteramkan hati orang tuaku. Mereka hanya membaca di km mi yang simpang siur kebenarannya. Entah sampai kapan semua ini baru akan reda. Kita tidak pernah tahu,” keluh Ricky.

“Tapi nyatanya dirimu aman-aman saja, kan? Masih sehat walafiat, tak kurang satu apa pun,” sanggah Donna dengan manja.

“Ya, aku tahu, tapi kedua orang tuaku tidak peduli itu. Aku adalah anak satu-satunya yang jadi tumpuan harapan mereka. Keputusannya, nku harus pulang dulu. Nanti kalau semua sudah tenang baru mereka akan membicarakannya lagi” ungkap Ricky setengah putus asa.

Perpisahan Kian Dekat

Debur ombak di pantai Tanjung Merdeka menawan tatapan Donna. Dipandanginya buih ombak yang bak kapas putih berkejaran kelaut lepas. Perahu-perahu kecil yang dipermainkan ombak merambat pelan dengan perkasa. Angin yang bertiup kian kencang bagai menguji ketangguhan para nelayan di laut biru itu. Dan nyalinya merasa  kecil jauh dari ketangguhan semacam itu.

Ricky yang duduk disisi Donna juga memandang laut. la juga punya gundah yang tak jauh berbeda. la memandang batas cakrawala yang merah nyala dan tepinya yang biru bersih. Itulah ibarat hati dan cintanya. Cinta yang biru suci tengah dibakar kesangsian. Kesangsian yang kian membesar tak terbendungkan.

Kedua remaja itu sama-sama dicekam diam. Diam melankolia. Diam dengan setumpuk kesangsian yang tak terhela. Mereka tenggelam dan tenggelam.

Dalam kenangan, terlintas peristiwa lalu. Ketika itu jam istirahat. Jeda itu segera saja dimanfaatkan para siswa dengan bermain bola basket, lapangan tengah sekolah telah dipadati para supporter. Mereka menyoraki jagoan masing-masing. Tapi entah bagaimana mulanya tiba-tiba saja terjadi kekacauan. Suara hiruk pikuk siswa yang tawuran. Mereka yang tak mau menuai masalah, berusaha menghindar. Demikian pula Donna dan Ory yang bergegas meninggalkan tempat itu dengan panik. Ory bahkan tak peduli lagi dengan salah satu sepatunya yang tertinggal. Mereka menghindar sejauh mungkin.

Ketika mereka sampai ke tepi kanal yang cukup lebar dengan airnya yang cukup dalam, nekad saja Donna melompat menceburkan diri. Padahal Donna sama sekali tak bisa berenang, langsung saja dia gelagapan.

Pada saat yang genting itu, beruntung ada seseorang yang nekad melompat dan berenang menyelamatkan nyawa sang gadis keseberang kanal. Donna jatuh pingsan dalam pelukan pemuda itu.

Potongan-potongan kenangan masa lalu, melintas cepat dalam angan. Masa-masa manis madu di awal perjumpaan. Bercanda di kantin, mall, resto, distro adalah masa-masa berbunga-bunga. Keduanya jadi sejoli yang menggambarkan keindahan cinta anak remaja.

Tapi potong-potongan kenangan itu kini perlahan berancang-ancang lari menjauh meninggalkan jejak rindu yang mulai tumbuh dengan perlahan tapi pasti. Kepastian yang menjadi tabir nan membentangkan perasaan kehilangan.

Perasaan kehilangan adalah perasaan yang paling dibenci oleh mereka yang saling cinta. Itu pula yang dirasakan Donna dan Ricky.

EMPAT

Perpisahan Dalam Pelukan

Malam beranjak ke peraduannya. Dan dingin menelusup dalam selimut hati Donna. Ricky yang masih di sisiny a sepertinya sudah kehilangan kehangatan. Hanya perasaan beku mulai diam merayap. Keduanya akhir-akhir ini hanya banyak diam. Diam dalam kata-kata, tapi bahasa hati mereka bagai ombak di pantai yang selalu menempurkan aneka gundah yang bersenandung.

Sangat terbatas kata-kata yang mampu menghibur. Kesempatan pun hanya sesekali datang di waktu yang maha sempit.

“Sudahlah. Hapus air matamu, honey. Kan kamu mau makan di luar.”

“Lebih baik tak usah makan di luar, apalagi besok harus bangun pagi, lebih baik malam ini istirahat saja,” sahut Donna sambil menghapus air matanya.

“Tapi kita kan harus mengisi waktu jelang perpisahan kita dengan sejuta kenangan manis kan?” kata Ricky sambil menata vas bunga, di kamar Donna.

“Sudahlah, aku tidak lapar, kalau kamu lama, akan kubuatkan makanan untukmu,” kata Donna dengan lirih.

“Oh, no thanks. Aku juga tidak lapar/’ potong Ricky cepat-cepat.

Mereka akhirnya kembali tenggelam dalam keheningan. Keduanya larut dalam amuk perasaan masing-masing. Tangan mereka saling menggenggam seolah mempersatukan had yang tak ingin terpisahkan. Dan bagai ada magnit yang mengalir di sekujur tubuh keduanya yang membuat Ricky meraih Donna ke dalam pelukannya. Mereka saling dekap tak kuasa melepas gejolak yang membara dalam jiwa. Perasaan berat untuk berpisah menjadi himpitan yang mempersatukan. Tanpa sadar keduanya bagai dipermainkan gejolak ombak di pantai yang mendamparkannya keperaduan.

Malam yang kian gelap, hening dan dingin akhirnya melarutkan mereka menjadi satu. Gelora yang saling balut menambal celah yang terbuka. Selanjutnya bagai perahu yang meniti ombak di antara buih-buih putih, kemudian mendamparkan keduanya ke tepian yang melelahkan. Ketika kesadaran terbit, hanya ada air mata yang membunga. Dua rasa yang berpagut, tuntas berbaur penyesalan.

 

Donna menatap dalam mata Ricky. Ada kotulusan di sana yang melegakan sisi hatinya, la telah memberikan penyerahan yang diterima dalam pigura cinta. Tapi di sisi hati Iainnya sedang tumbuh perasaan was-was atas kelalaian yang terlanjur terjadi. Tentu tak ada gunanya menyesal, karena bagai Adam dan Hawa itu adalah dosa purba yang harus ditebus sendiri.

Kekasih Terbang Jauh

Ketika saat perpisahan tiba, tak ada lagi upaya yang mampu mencegah. Ricky meregangkan pelukan Donna ketika terdengar pengumuman lewat pengeras suara bandara Hasanuddin yang mengisyaratkan saat keberangkatan.

“Percayalah, honey. Meski pun tubuhku pergi, tapi hatiku tetap tinggal di sini. Perasaan cintaku takkan pernah punya ganti dirimu. Aku pergi untuk segera kembali,” bujuk Ricky dengan lembut.

Donna berusaha sekuat tenaga membendung air mata yang sudah siaga meluber dari kelopak matanya. Bibirnya bergetar digigit sekuat mungkin untuk menangguhkan perasaannya.

“Titip Donna, ya Ory,” pinta Ricky pada sahabat Donna.

Ory hanya mengangguk perlahan, karena ia juga mampu merasakan kekecutan jiwa sahabatnya di ujung tangis. Bibirnya tak sanggup mengeluarkan perkataan, karena itu toh sudah terwakilkan dalam anggukan sesaat.

Donna pun kian larut dalam diam yang beku. Ia hanya coba mengembangkan senyum tipis di sudut bibirnya. Ricky pun mengecup kening kekasihnya untuk terakhir kali. Kemudian ia segera melangkah ke ruang keberangkatan dan bergabung dengan penumpang lainnya.

 

Air mata Donna akhirnya terburai juga, ketika sosok kekasihnya menghilang di balik pintu. Tinggallah perasaan kehilangan yang bergayut memberati hatinya.

Suara deru pesawat akhirnya menjadi penanda mulai terbentangnya jarak yang memisahkan kedua hati yang saling cinta itu. Tanda yang mengawali kenyataan pahit bagi keduanya dalam asa yang tersisa. Adakah esok akan ada pertemuan kembali.

LIMA

Duka Mulai Menyapa

Di  kamar  kost,  Ory  dan  Donna terbenam dalam suasana duka. Nuansa perpisahan masih terasa. Meski Ory kemudian dapat terbenam dalam Map tidurnya, tapi Donna tak juga mampu memejamkan matanya. Saban kali ia mencoba memicingkannya demi memancing kantuk, tapi seketika itu pula langsung menyeruak bayangan Ricky kekasihnya.

Donna gelisah, terlebih saat membayangkan peristiwa terindah yang telah dilakoninya bersama. Peristiwa yang mengesankan bahagia sekaligus membawa debar untuk selaksa pertanyaan. Apakah akibatnya nanti?

Adakah nasib mereka akan meniru kisah tragis insan usiran dari sorga kebahagiaan. Entahlah. Tapi yang pasti ada rasa gelisah yang terus membayangi Donna seperti itu. Ada perasaan takut yang bermula dari ketidakpastian masa depannya dengan Ricky, sementara benih yang telah ditaburkan atas nama cinta, kini terasa menjadi sesuatu dosa yang menghantu.

Di puncak gelisahnya, pada akhirnya Donna tidak lagi terlalu peduli apa harus terjaga atau tertidur barang sejenak. Sebab baginya esok selalu akan hadir dengan segala kepastiannya, pahit atau manis, itulah takdir.

Takdir, terkadang jadi sesuatu yang tak terbayangkan. Dan itu tak dapat diterangkan sebagaimana datangnya virus mematikan, namun kalau kita bijaksana maka akan ditemukan pola-pola yang memberikan gambaran apa yang paling mungkin terjadi.

Dia Selalu Membayang

Mengusir jenuh, Donna dan Ory jadi pelanggan Mall, cafe, salon, bioskop atau pun Butik. Di tengah keramaian Donna bisa lupa barang sejenak, sedih saat perpisahan hari kemarin.

Dalam gegap dunia kosmetik itu segala dorongan shophacholiknya ia lampiaskan hingga suatu ketika ia berjumpa kembali dengan sang pria misterius usia separuh baya. I )ia yang selalu sedia jadi semacam ATM  mesin bayar untuk belanjanya.

“Lagi asyik belanja, Non? Wah pilihan warnanya mantep-mantep,” sapa si Om yang tiba-tiba hadir di belakang Donna saat asyik memilih-milih busana.

Donna sedikit terkejut, sekaligus lega. Jika si Om hadir tentu dompetnya akan aman. “Ah, Om ngaget-ngagetin saja. Kirain siapa.”

Ory mencubit lengan Donna.

“Ih, sebel deh. Si Om lagi…si Om lagi,” bisik Donna di telinga Ory.

“Sssst…, ini kesempatan, Non. Porotin saja si om malaikat itu. Tapi aku nitip juga yah,” balas Ory berbisik.

“Ih, dasar cewe matre!” timpal Donna sambil kembali mencubit Ory.

“Ayo, ambil saja semua yang kamu senangi. Tak usah malu-malu. Santai saja. Ory juga boleh. Atau mau jadi penonton saja?” Goda si Om.

“Ayo, Non. Ambil… cepetan. Jangan sampai si Om keburu berubah pikiran,” Desak Ory sambil berbisik.

Donna mencubit lengan Ory lebih keras. Ory menjerit kaget. Si Om juga kaget. Akhirnya, mereka tertawa bersama menyadari kelucuan itu.

Si Om pura-pura pilon, ketika kedua gadis belia itu memborong beberapa potong busana dengan harga yang cukup mahal. Dia hanya mengantarnya ke kasir lalu menodorkan kartu debetnya untuk diproses.

Bunga-bunga Berkembang

Bunga-bunga yang kuncup dan mekar di halaman sekolah, menjadi pertanda musim bunga tiba. Begitu cepat sang waktu berganti, hari, minggu seperti selintas saja menapak.

Tapi Donna tak mampu menikmati keindahan musim bunga itu. Hari-hari terasa panjang dan membosankan. Pelajaran di sekolah melintas begitu saja. la sangat sulit berkonsentrasi. Ingatannya selalu pada Ricky dan segala kenangan lalu. Tapi bayang hitam kenanganlah yang kini terus mengganggu.

Walau guru yang memberi pelajaran hari ltu adalah guru yang paling simpati, sangat disenangi murid-murid sekelasnya, namun bagi Donna itu tidak menarik baginya. la lebih banyak larut dalam lantun lamunan yang menerawan pergi.

Untuk menyadarkan Donna, sesekali Ory menyikut  lengan sahabatnya itu. la mengingatkan agar jangan menerawang begitu, bisa-bisa jadi sasaran perhatian teman-teman sekelas.

“Donna, Please….” Bisik Ory. Donna hanya melenguh perlahan, tapi tak mampu menghidupkan gairah hidupnya.

 

Mawar Itu Pucat

Mawar yang dirangkai Ricky di vas bunga kamar kost Donna, kini pucat sudah. Sepucat penghuninya yang makin kehilangan gairah hidup. Pagi itu Donna terlihat pucat, perasaannya sangat malas beranjak dari peraduannya.

 

Ory yang baru keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah tergerai. Melihat kelakuan Donna ia menghela nafas. ” Eh, nona besar, kok masih tidur. Ayo bangun dong, Non. Ini sudah jam berapa, nanti kita terlambat ke sekolah.”

“Kepalaku pusing, Ry,”  keluh Donna lirih. Belum lagi ia menyelesaikan kalimatnya ia sudah berlari menghambur ke kamar mandi. Dari balik pintu Ory mendengar Donna muntah-muntah. Tak lama kemudian pintu kamar mandi kembali dibuka dan Donna keluar dengan wajah pucat.

Ory cukup kaget melihat kondisi Donna. Ia segera menghampiri sahabatnya. “Wajahmu sangat pucat, Non… lambat tidur ya semalam? Kamu pasti masuk angin deh,” tanyanya bertubi-tubi.

Donna hanya menggelengkan kepalanya sambil duduk di tepi pembaringan dan berusaha menenangkan dirinya dengan memejamkan mata. “Badanku terasa bagai remuk, Ry… sejak kemarin perasaanku mual. Sepertinya kepingin muntah.”

“Oh itu biasa, sakit perempuan barangkali? Aku juga kalau sedang menjelang haid sering begitu. Apa kamu…..?” selidik Ory penuh perhatian.

“Perasaanku aku sudah terlambat seminggu, Ry. Kenapa ya….? Jangan-jangan…”’ ia memandang Ory dengan penuh harap, sahabat¬nya memaklumi apa maksud dari pertanyaannya.

“Jangan-jangan kenapa?” selidik Ory, lu’lum mengerti apa yang dimaksud pertanyaan Donna.

“Jangan-jangan……..,ah,” Donna tidak mampu melanjutkan kalimatnya ketika rasa nihil kembali menyergap perasaannya. la membekap mulutnya dan kembali bergegas ke kfitn.ir mandi…

Waktu Bagai Berhenti

Dokter Mahfud keluar dari ruang periksa dan kembali duduk di meja kerjanya. la lalu mengambil kertas resep dan menuliskan sesuatu. Tak lama kemudian Donna menyusul keluar sambil merapihkan kembali bajunya. kemudian kembali duduk di kursi depan meja kerja dokter Mahfud.

Sang dokter tersenyum setelah memperhatikan test pack. Dengan ramah ia berkata “Selamat, Nyonya…sampaikan pada suami anda, ini positif.”

Bak disambar petir Donna kaget. Ia mengintip Dokter Mahfud dengan perasaan tak percaya. Kemudian menatap Ory dengan cemas, seolah mohon bantuan perasaan. Tapi Ory hanya tersenyum sambil memicingkan mata memberi isyarat.

” Positif, dok? Tidak salah?” Tanya Donna sekali lagi mengharap kepastian.

“Hmh, ada apa? Nyonya tidak bergembira mendengar kabar baik ini?” Jawab dokter Mahfud seakan memahami kebimbangan perempuan muda di hadapannya itu.

Donna tidak menjawab hanya memandang Ory dengan wajah yang pucat. Perasaannya lemas, seolah seluruh langit runtuh sudah. la sangat sulit mengendalikan dirinya lagi. Ketika itu waktu terasa bagai berhenti. Perasaan Donna melayang. Ory membimbing sahabatnya ke luar meninggalkan ruang praktek dokter Mahfud.

Dengan menumpang taksi keduanya kembali ke rumah kostnya. Di perjalanan Donna kian dibekap perasaan bingung. Dengan sayu ia memperhatikan berbagai kendaraan yang lintas berpacu, lalu kemacetan dan suara klakson yang seolah serentak berbunyi, sahut menyahut dan membuat kepalanya makin pening. Selanjutnya ia tak ingat apa-apa lagi.

ENAM

Arang Membekas Di Kening

Tak ada lagi kegembiraan di hati Donna, la bagai mawar yang kian pucat kehilangan asa. Kepastian dari dokter Mahfud adalah vonis yang menggusur seluruh kegembiraan masa remajanya. Donna Bingung resah dan gelisah, tak tahu mau berbuat apa¬-apa. Hanya Ory seorang yang mampu sedikit membasuh duka laranya. Hanya sahabatnya itu yang jadi penentramnya.

“Maaf, Non….bukan maksud hatiku menambah kecemasanmu dan membuat hatimu borsedih, tapi karena Ricky tak ada di sini dan belum juga ada kabar beritanya, maka kita harusnya mencari jalan keluar masalahmu,” kata Ory hati-hati, menjaga jangan sampai hati sahabatnya tersinggung.

“Begitu besar perhatianmu padaku, Ory. Terima kasih,” sambut Donna mendengar ungkapan sahabatnya. “Saat ini aku betul-betul bingung, pikiranku kalut. Aku tidak tahu haras berbuat apa. Orang tuaku yang jauh dl kampung, entah apa reaksinya jika tahu keadaanku. Mereka pasti kecewa. Maksud mereka mengirimku ke kota adalah untuk menuntut ilmu, bukannya menyimpan janin di perutku. Aku takut Ory, Aku telah membuat mereka kecewa, tentu mereka akan sangat sulit menerima kenyataan pahit ini, jika mengetahuinya. Aku telah mencorengkan aib di wajah keluargaku,” keluh Donna dalam tangisnya yang berderai.

Mereka kemudian larut dalam nelangsa hati masing-masing. Belum menemukan solusi yang terbaik dan apa yang bisa dilakukan. Tiba-tiba Ory seolah mendapat ide. Namun dengan sangat hati-hati ia menyampaikannya.

“Donna, jangan marah, yah. Aku ada ide gila. Aku tidak tahu apakah kamu setuju atau tidak.” Tutur Ory perlahan.

“Apapun idemu, aku akan setuju jika itu demi kebaikan dan jalan keluar dari kemelut ini. Yah kenapa tidak?” sahut Donna pasrah.

“Bagaimana,……bagaimana kalau janin itu, kita gugurkan?”

Donna hanya mampu membisu mendengar ide gila temannya itu. Matanya bak mata soekor kelinci yang lemah memohon bantuan setulusnya.

 

Jalan Sia-sia

Beberapa toko obat, toko jamu peluntur didatangi Donna dan Ory. Tak juga membuahkan hasil sebagaimana yang mereka harapkan. Demikan pula saat meminta ban¬tuan dukun unit untuk menggugurkan janin di kandungan Donna itu.

Hari-hari selanjutnya perkembangan perut Donna kian membusung kentara. Akibatnya Donna tak bernyali lagi mengikuti pelajaran di sekolah. Jika Ory kesepian di sekolah, giliran Donna jika tinggal sendiri di rumah. la hanya melamun sambil memandang ke luar jendela, berharap tukang pos tiba-tiba datang membawa berita.

Tapi harapan tinggal harapan yang dinanti tak kunjung tiba. Di saat demikian itu Donna merasa semakin kesepian. Ory tak ada bedanya, harus pulang sendiri dan menelusuri koridor sekolah dalam sepi.

Kalender penanggalan pun dicoret hari demi hari, dan minggu bulan terus berganti dengan cepat. Keduanya makin dihimpit beban yang menggunung, semakin berat di dada, di jiwa.

Akhirnya Donna memutuskan untuk pulang ke orang tuanya.

Menumpang bus umum, Donna kembali ke kampung. Ory hanya bisa mengantar hingga di terminal. Kata-kata perpisahan, tak juga mampu menghibur hati Donna. Gadis malang itu hanya memelihara kepasrahan di hatinya, apapun yang akan terjadi. Buah dosa telah ditelannya, harus dipertanggungjawabkan dengan segala pertaruhan.

TUJUH

Di Puncak Gundah

Di ruang tengah rumah berarsitektur Bugis itu, Andi Makkawaru mondar mandir dengan muka ditekuk menahan amarah. Sebagai bangsawan, ia merasa sudah dipermalukan anak semata wayangnya. Sementara Donna duduk bersimpuh di hadapan bundanya, Andi Darauleng, bak terdakwa ia tanpa daya.

Ibu dan anak itu sama-sama tenggelam dalam deraian air mata. Donna mengaku apa adanya dengan aib yang telah dilakoninya. “Begitulah, semuanya terjadi, diluar kontrol kesadaran kami. Kami hanya tak ingin dipisahkan. Ampunkan kami bunda,….Petta.”

Andi Makkawaru hanya mendengus marah “Lantas dimana tanggung jawab lelaki itu?”

“Saya yakin dia pasti bertanggungjawab, sekembalinya dari Wellington, Petta.”

“Begitu kuatnya keyakinanmu. Syukur kalau dia kembali. Bagaimana jika sebaliknya? la orang asing, urusannya bisa semakin rumit.” Lenguh sang ayah.

Keduanya tenggelam dalam diam beberapa saat. “Perutmu yang semakin besar tak akan mau menunggu. Keadaan akan kacau. Apa omongan orang kampong ini. Anak seorang bangsawan yang dihormati, sudah mencorengkan arang di kening keluarga. Dan malu… Siri’ itu akan menjadi tanggungan kita sekeluarga. Sampai Ricky datang. Huh… kalau tidak mengingat bundamu ini, entah apa yang akan terjadi.”

“Sudah, Daeng, sudah begini nasib anak kita,” keluh Andi Darauleng di sela tangisnya.

Melihat keadaan istrinya, Andi Makkawaru tidak tahan berlama-lama lagi di situ. la segera berlalu meninggalkan ruangan itu sambil membanting pintu.

Ibu dan anak itu saling tenggelam dalam duka. Ada kecamuk kesedihan yang mirip di jiwa mereka, tapi dalam ungkapan yang berbeda.

 

Hari Penuh Derita

Hari-hari penuh derita itu akhirnya datang juga. Seperti pagi itu, saat penduduk desa masih terlelap dalam buaian embun subuh, Donna sudah nampak di depan jendela. Matanya menerawang jauh sarat penantian.

Dalam suasana nelangsa itulah tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara gitar yang dimainkan dengan serampangan. Seorang pemuda desa yang bertampang serampangan bermain dan menyanyikan lagu ala Rhoma Irama dengan nada seronok, Donna, primadona desa…..kemudian ia lanjutkan dengan bersyair:

Primadona Desa

Izinkan aku memetikmu

Untukmu

Kutanamkan dalam

jambangan hati sanubariku

Hai…bunga Primadona Desa

Begitu berulang-ulang pemuda desa urakan itu bernyanyi dan bersyair. Nadanya bak menyindir kehadiran Donna. Donna pun dibuat gerah karena ulahnya. Wajahnya jengah mendengar syair yang dirasa menyindirnya. Dengan jengkel Donna meninggalkan jendela yang kemudian disambut tawa cekakakan sang pemuda. Ketika ada pemuda lain yang lewat ia malah menyindir dengan lebih tajam.

“Sombong sekali si Donna sekarang. Cuh…. mentang-mentang sekolah di kota, kita berlagak dibuang. Seolah tak kenal kita he…he…, keterlaluan,” umpatnya sambil berlalu.

Putusan Menentukan

Di rumah bambu kebunnya, Andi Makkawaru sedang merenung. Tak juga terpecahkan jalan keluar yang bijak, bagaimana harus menyikapi keadaan anaknya tersayang. Sebagai bangsawan ia merasa ditampar, dipermalukan. Tapi ia tak mampu bertindak apa-apa. Untuk sementara ia hanya bisa menelan kepahitan yang menyekat di kalbunya.

Ketika kegundahan itu kian menggunung, tiba-tiba Andi Makkawaru merasakan sentuhan yang hangat dan lembut di pundaknya. Andi Darauleng istrinya tercinta, telah berada di sisinya dengan tatapan penuh empati. Sang suami menatap haru pada sang istri. Hanya belahan jiwanya itulah yang selalu mampu menyejukkan hatinya, di saat-saat gundah seperti itu. Untuk sang istri, Andi Makkawaru sanggup mengalahkan segala ego dirinya.

“Pulanglah, Daeng, aku lelah mencarimu kemana-mana.”

Andi Makkawaru menghela nafas berat. Matanya lesu. la berusaha tersenyum di antara getir hatinya. “Di sini aku mencari ketenangan. Aku takut mata dan pikiranku gelap dan melakukan tindakan yang tidak manusiawi.” Matanya menerawang jauh.

“Rasanya, baru kemarin kita bersama Donna bermain di sungai sana. Mengapa semua begitu cepat berlalu. Kenangan yang manis dulu, kini menjelma menjadi hidup yang terasa pahit. Kepahitan yang harus kita telan. Apa salah kita? Aku sungguh malu, tak mampu menjaga anak kita, Uleng,” keluh sang suami dengan rasa nelangsa.

Istrinya megelus dengan lembut rambut suaminya. la ikut larut dalam harus suasana. Dengan sadar ia melihat rambut suaminya yang mulai beruban.

“Sudah terlalu tua kita. Ah, mengapa hidup kita rasanya menjadi sia-sia,” keluh Andi Makkawaru.

“Sudahlah, Daeng. Apa yang terjadi adalah rencana Allah semata. Ini juga ujian yang tidak bisa kita hindari. Aku juga merasakan ke¬kecewaan di hatiku, aku juga merasa mala dengan aib di kening keluargaku. Donna anak yang kita damba akan meningkatkan derajat kita. Jadi kebanggaan kita ternyata menghadirkan kenyataan lain,” ungkap Andi Darauleng hati-hati.

“Justru membawa petaka di hari tua kita/’ Keluhnya lirih.

“Tapi kita mau bilang apa lagi. Semuanya sudah terjadi. Bagaimana pun Donna anak kita. Apakah kita sanggup menyingkirkannya dari hati kita?

Andi Makkawaru tercenung beberapa saat. la tidak dapat langsung menjawab pertanyaan istrinya. la hanya memandang jauh ke dalam mata istrinya, seolah ingin menyibak apa yang berkecamuk di sana. Dan perasaan cintanya tumbuh dan tumbuh saban kali menatap keheningan mata itu. Memang ada kekecewaan di dasar sana, tapi ia tak sanggup membiarkan istrinya hanyut dan tenggelam sendiri dalam duka lara itu. Karenanya ia menggenggam tangan istrinya dengan lembut dan menariknya duduk di sebelahnya.

“Lalu, menurutmu apa yang terbaik buat kita, Andi? Kita harus bagaimanakan, Uleng?

Apakah kita harus menerima keadaan Donna, pasrah begitu saja?” desaknya perlahan.

“Suka atau tidak suka, kita harus ikut memanggul beban duka cita anak kita. Kejadian sudah di depan mata. Kita harus berjiwa besar menghadapinya, mau menerimanya dengan ikhlas. Kita orang tuanya, adalah tempat satu-satunya bagi anak kita menyandarkan harapan. Kalau kita pun tidak mampu memahaminya, maka kepada siapa lagi Donna harus menggantungkan harapan. Kita tentu tidak sanggup membiarkannya terlunta-lunta memohon belas kasih orang lain,” ujar Darauleng menegarkan perasaannya.

Andi Makkawaru kembali terdiam. Itulah kerisauannya. Ada perasaan kontradiksi yang sejak beberapa waktu mengguncangkan perasaan dan pertimbangannya. Kadang ia ingin mengedepankan harga diri kebangsawanannya, di kesempatan lain ia berbalik lebih bijak siap menerima kenyataan yang pahit itu.

 

Mendengar ungkapan hati istrinya, hatinya jadi semakin diliputi tanda tanya, apakah ia harus menerima segalanya dengan ikhlas? Atau…harus menegakkan harga diri.

“Jangan ragu, Daeng. Bagaimana pun kita harus menyelamatkan janin dalam rahim Donna. Ia calon cucu kita. Dia mengharapkan pertolongan kita, kasih sayang kita, uluran tangan kakek dan neneknya. Tidakkah kau merindukan disapa Dato oleh cucumu yang bakal lahir nanti?” Kata Darauleng membesarkan hati suaminya.

“Baiklah. Apa yang baik bagimu, itulah yang terbaik bagiku. Bersamamu aku selalu sanggup menentang arah, siapa pun. Apa yang terpaksa kita alami ini, Insya Allah ikhlas kuterima sebagai kehendakNya. Benar yang kamu sarankan, kita harus berjiwa besar menerimanya. Kita harus lebih mencintai kehidupan dibanding jalan darah. Mudah-mudahan keikhlasan ini ada berkahnya buat keluarga kita.”

“Ya, Daeng” sambut Darauleng bahagia.

“Kita harus mencari jalan keluar yang terbaik, agar aib ini bisa tertutupi. Tanpa harus terlalu mencemarkan nama dan martabat keluarga kita.”

“Ya, Daeng, kita harus hati-hati mencari jalan penyelesaiannya. Kita tentu maklum masyarakat di desa ini tentu belum bisa menerima kenyataan semacam ini,” sambung Darauleng.

“Satu-satunya jalan. Kita harus mengawinkannya dengan seseorang, sebelum perut Donna semakin membesar. Masalahnya tinggal apakah Donna bersedia?” kata Andi Makkawaru setelah menemukan idenya.

“Itu yang kuragukan” bisik Darauleng.

“Tapi itu jalan satu-satunya. Akan kubicarakan dengan keluarga dekat kita. Bujuklah Donna agar mau menuruti rencana kita.”

“Apa tidak perlu mencoba dulu menghubungi pacar Donna di Wellington?”

“Tak ada waktu lagi. Di saat begini kita harus bertindak cepat dan tegas. Lagi pula, berapa lama kita harus menunggu kabar dari seberang lautan itu? Akan terlalu lama, dan itu beresiko rahasia keluarga ini akan terungkap,” kata Andi Makkawaru tak sabar.

Kalau begitu beri aku waktu bicara dengan Donna. Mudah-mudahan dia memahami keputusan kita,” timpal Darauleng lega.

“la harus menerimanya. Jangan lagi menambah pusing. Urusan membujuknya semua kuserahkan padamu.”

Aitmata Pun Berderai

Andi Darauleng membelai Donna di pangkuannya.  Sambil  menelisik  rambut Donna, dia coba menjelaskan hasil pembicaraannya dengan Andi Makkawaru kemarin.

Donna dibuat terkejut atas keputusan itu. Tapi ia tak kuasa menepis vonis yang telah dijatuhkan ayah ibunya, keluarganya. Donna sadar, apapun alasan penolakannya, tentu ia takkan berdaya menolak vonis ayahnya itu. Akhinya ia pasrah akan apapun yang terbaik untuk keluarganya akan diterima.

Andi Darauleng berusaha menghibur hati Donna yang sesunggukan menangis di pangkuannya. Air mata kesedihan adalah penanda luka yang mengangah disanubari.

Airmata adalah lambang kesedihan dari ketidakmampuan menerima yang tidak diinginkan, diharapkan. Seseorang, siapa saja tentu punya airmata. Air mata adalah senjata. Adalah obat dari nelangsa. Dan saat airmata itu tumpah, pasti ia akan mengalirkan sejenak timbunan lara. Meski tidak selamanya mampu menyelesaikan masalah sebagaimana yang diharapkan.

 

Donna menyadari itu, airmatanya tak akan sanggup merubah keputusan ayahnya.

“Baik, Bunda. Tapi izinkan aku mengirim surat, penyampaian terakhir kalinya untuk Ricky. Bagaimanapun, untuk ini ia pantas tahu.” Pintanya memelas.

“Baik. Donna, terima kasih atas pengertianmu,” timpal ibunya, sambil mencium kening anaknya.

 

Titip Rindu yang Menggapai

Dear Ricky,

Bagaimanapun kamu hams tahu, keadaanku, kesedihanku disini. Segala kesedihan serasa tak tertanggungkan tanpamu. Dan itu agaknya akan segera mencapai puncak di sini, beberapa waktu lagi.

Apa yang menjadi keputusan orangtuaku, pastilah yang terbaik bisa mereka lakukan. Bagaimana pun pahitnya, hams ikut aku telan. Karena kita jua penyebabnya. Kita yang tanpa daya mencegah kenyataan pahit ini.

Kalau apa yang direncanakan ini memang pasti terjadi, kuharap kau bisa mengerti, tidak menyesalinya. Karena ini kuterima demi menyelamatkan janin kita juga.

Sayang, rasanya aku tak sanggup lagi meneruskan surat ini, kecup sayang dari seberang.

Pilahan hatimu,

Donna.

Donna mengakhiri rangkaian kalimat surat itu, saat derai airmatanya tak terbendungkan lagi. Dengan sampul biru amplop direkatkannya dengan harapan segera sampai ke tangan kekasih hatinya di Wellington.

Kepada Ory dititipkannya surat itu. Pada sopir bus yang akan mengantar ke kota, ia berpesan agar surat itu bisa tiba di tangan sahabatnya, dengan selamat dan aman. Untuk itu ia memberi tip yang lumayan. Pada Ory, Donna pun menggoreskan apa yang dialaminya selama di desa.

Sesampai di kota Sopir bus mengantarkan surat itu buat Ory. Sahabat Donna itu langsung menyambutnya dengan kecamuk perasaan. Apa yang terjadi pada sahabatnya di nun desa sana.

Setelah membuka sampul surat dan membacanya. Ia sedikit lega meski airmatanya sempat juga terkuras membayangkan derita Donna sahabatnya. Tapi ia juga bisa sedikit bersyukur karena solusinya telah ada meski terlalu pahit bagi Donna.

Usai membaca surat itu Ory termenung. Mengapa nasib yang naas itu harus menimpa gadis secantik dan sebaik Donna. Inikah akibat dari pergaulan kota. Bagi siapa yang tidak mampu mengendalikan diri pasti akan terlindas oleh akibat-akibatnya.

Merenungi itu, merinding bulu kuduk Ory. Semoga itu jadi yang terakhir kali.

DELAPAN

Pelaminan Duka

Saat maha menegangkan dan menyiksa itu akhirnya tiba juga. Segala persiapan keluarga sudah ditata. Andi Makkawaru bersama istri disertai keluarga dekatnya, sudah siap.

Tak lama kemudian keluarga kerabatnya datang melamar Donna di siang hari itu. Segala persiapan dibicarakan tanpa banyak basa-basi. Semua berlangsung dengan mulus.

Sementara Donna dikamarnya kian tenggelam dalam kesedihan dan tangis. la tidak peduli lagi akan apa yang terjadi di ruang depan rumahnya.

Sejak hari itu si gadis malang lebih banyak diam dan termenung. Kadang menyesali keterlanjurannya di hari kemarin. Dilain waktu tersenyum bahagia mengenang masa-masa lalu yang indah. la kadang dipermainkan goda pikirannya, apakah yang dialaminya itu cinta atau nafsu semata. Kalau cinta mengapa ada penyesalan dan duka, kalau permainan nafsu, mengapa ia begitu mudah terpengaruh.

Di sisi lain, persiapan demi persiapan dilaksanakan. Semua berlangsung sewajar mungkin sesuai kesepakatan. Banyak keluarga dan kerabat yang datang mendukung segala persiapan itu.

Saat hari perkawinan kian mendekat, Ory pun menyempatkan datang. Donna begitu bahagia melihat sahabatnya itu akhirnya menemuinya juga. Dia menyambut sahabatnya yang baru saja turun dari bendi tepat di depan pekarangan rumahnya. Keduanya berpelukan hangat tanpa hamburan kata-kata.

“Ry, aku benar-benar berterima kasih atas kedatanganmu ini. Betapa aku merindukanmu,” sambut Donna.

“Aku tahu, aku bisa merasakannya, Non/’ timpal Ory coba menghibur. “Siapa lelaki itu?” selidik Ory.

“Entahlah, aku juga tidak tahu” bisik Donna.

 

Ketika hari perkawinan tiba, Donna akhirnya bersanding dengan seorang pria yang baru dijumpainya. Gaffar namanya. Berwajah brewok berkesan sangar. Tetapi sama sekali tidak cerdas. Bahkan terkesan tak acuh dengan segala formalitas perkawinan itu. Bagi Donna, perkawinannya, tak ubahnya dengan pelaminan duka.

 

Neraka Yang Menyala

Rumah tangga semu yang dirancang untuk Donna dan Gaffar, tak ubahnya kubah neraka dunia yang menyala. Keduanya tak pernah bertegur sapa sebagaimana layaknya suami istri. Dalam pergaulan keluarga pun, tak ada api cinta yang menyala.

Bahkan hasrat yang coba dinyalakan, hanya di permukaan saja. Ibarat Win yang terbakar sesaat, tak seberapa lama langsung redup, terkulai, mati, tanpa dorongan angin sekalipun. Gaffar selalu terkulai di saat penetrasi sudah siap. la loyo tak bertenaga. Bagaimana mungkin ia bisa menunaikan hasratnya, pada tubuh yang seolah tak berjiwa.

Akibat derita yang berulang akhirnya Gaffar kian trauma dan terjerumus pada gejala impotensi. Ini pula yang sering memicu pertengkaran dalam keluarga muda itu. Pada suatu puncak pertengkarannya, Gaffar malah nekad meninggalkan rumah.

Menggambarkan neraka dunia perkawinannya itu, Donna rajin berkirim kabar, curhat pada Ory. Hanya itulah yang menjadi katup pelega beban jiwanya. Ory pun selalu terbuai kesedihan. Air matanya berlinang-linang setiap kali menerima surat Donna. Sebagai sahabat, tak banyak yang dapat ia perbuat, selain menampung segala keluh kesah sahabatnya itu. Kadang, jika tak tahan, untuk meluapkannya, ia menemui si Om yang misterius dan menyampaikan derita sahabatnya. Si Om selalu sabar ikut menampung duka lara itu.

Andi Makkawaru dan istrinya Darauleng pun ikut bersedih melihat kemelut keluarga tanpa harmoni itu. Keduanya tidak berdaya, tak tahu harus berbuat apa. Mereka hanya diam dan diam. Sadar, bahwa sekali waktu, akan segera terjadi ledakan masalah. Boleh jadi ujungnya adalah sesuatu yang tidak mereka inginkan. Dan kejadian itu pelan-pelan datang seiring kecepatan bergantinya waktu.

 

Petaka Itu Datang Sudah

Petaka itu akhirnya datang juga. Awalnya Gaffar nampak diantara para pemuda desa. Ikut bermusik dan bermabuk-mabukan. Di kelompok itu, nampak juga si Sompa, pemuda yang sering menyindir Donna.

Sompa yang melihat Gaffar di tengah kelompok itu, jadi bertanya-tanya, ada apa dengan si pengantin baru? Mengapa lebih memilih hadir di situ, daripada bercumbu dengan istri baru?

Menerka-nerka itu membuat Sompa bertanya-tanya “Kelihatannya Daeng Gaffar tidak gembira hari ini. Ada apa ya? Biasanya pengantin baru saat begini enggan keluar rumah, istri yang muda, cantik, seksi mau apa lagi? Siapa yang tidak bahagia?” Pancing Sompa sambil tertawa.

Gaffar hanya berdiam diri. Sompa malah mendekatinya dan kian menggoda. “Punya problem ya? Ceriterakan padaku, mungkin aku dapat membantu Daeng,” Goda Sompa.

Gaffar masih saja diam, enggan menjawab. Terkadang ia terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi selalu berubah pertimbangan.

Setelah didesak terus menerus, akhirnya ia bicara juga. la membisikkan sesuatu ke telinga Sompa, yang disambut dengan anggukan paham.

“Oh, begitu masalahmu. Aku punya teman yang punya obat buat menyembuhkanmu. Pasti tokcer. Bahkan sekalian bisa diuji coba di tempatnya? Bagaimana, setuju? Desak Sompa.

Lagi-lagi Gaffar tidak berkata-kata. Tapi dia tidak menolak ketika Sompa menariknya pergi dari tempat itu.

Ternyata Gaffar digiring ke sebuah rumah bordil. Di sana dia dipersilahkan memilik siapa yang dia suka. Akhirnya dengan berbekal segelas air bercampur obat perkasa Gaffar memulai petualangannya.

Setelah meminum beberapa teguk, wajahnya perlahan memerah. Syahwatnya ikut menyala. Nafasnya mulai memburu dan diraihnya wanita pilihannya. Dan pembaringan pun menjadi teracak-acak karena pergumulan keduanya.

Tetapi, tiba-tiba nyala itu terlalu berkobar. Bahkan menghanguskan kontrol diri Gaffar. la sudah kepalang basah, tak mungkin untuk membatalkan nafsu untuk berpacu. Aroma maksiat memang sudah memabukkannya.

Nafasnya pun berkejaran, lalu menyumbat. Detak jantungnya perlahan melambat, semakin melambat, bahkan nyaris berhenti saat nyala makin tak terkendali. Reaksi obat pemacu itu, jadi pemicu esktasi Gaffar. Tragisnya ia terkulai meregang nyawa di atas mahligai dosa yang laknat.

 

Bunga Hitam di Pigura

Entah duka, entah bahagia bagi Donna. Ketika berita kematian itu tiba. Ia terpana. Kemudian berlari ke arah ayah bundanya yang tengah lesu di ruang keluarga.

Sesaat lalu, Sompa datang melaporkan berita duka itu.

” Celaka, Puang… Daeng Gaffar…”

“Kenapa Gaffar, Sompa?”

“Daeng Gaffar meninggal di rumah bordil. Di atas tubuh seorang Wanita Penghibur,” lapor Sompa terbata-bata.

Andi Makkawaru tersentak. Batal ia menyeruput kopi yang masih hangat di meja. Ia merasakan dingin di sekujur tubuhnya, demikian pula dengan Andi Darauleng istrinya. Keduanya bagai membeku dalam ketidakpercayaan. Segala skenario yang rapih disusunnya berantakan sudah. la tak tahu harus berbuat apa. Pada seorang bedinde di rumahnya, ia memanggil Donna.

Donna yang sedang merenung di bibir jendela, pun merasa gamang. Ada perasaan lega, ada pula beban yang semakin berat ditanggungnya.

Jenazah Gaffar pun dibawa pulang. Sebuah potret dengan pigura hitam diletakkan di ujung ranjang tempatnya terbaring. Betapa malang nasibnya. Tak mati dipucuk cinta.

Pemakaman Gaffar pun sangat sederhana. Hampir tanpa airmata. Bahkan tanya dan gos¬sip yang mengiringi.

“Celaka kampong kita. Panen gaged. Banjir pun membandang. Hama menyerang palawija. Ternyata, Donna, perempuan itu pembawa celaka. Dia Hamil!” Ujar Sompa mengumbar gossip.

“Apa hubungan kehamilannya dengan segala bencana yang kamu katakan itu, Sompa?” Desak temannya.

“Diakan, sudah punya suami!” Sambung yang lain.

“Ya, tapi mana mungkin dia hamil karena Gaffar. Dia itu bukan lelaki sempurna. Dia impoten. Apalagi, pernikahan Donna dengan Gaffar belum lagi sebulan,” Balas Sompa tak mau kalah.

“Kalau begitu, Donna itu pezinah!”

“Betul, karenanya kita harus mengusir dia. Perempuan sombong itu tidak saja membawa sial bagi suaminya, tapi juga kampong kita. Sebentar lagi seisi kampong ini akan ketularan sial, kalau kita tidak berani mengusirnya atau merajamnya” Hasut Sompa.

 

“Kalau begitu tunggu apa lagi?” Sambung yang lain.

Mereka pun siap melakukan aksi.

Tragedi Di Malam Buta

Kasak kusuk para pemuda yang akan menyerang rumah Andi Makkawaru santer sudah. Bahkan seseorang kerabat dekat sudah melaporkannya. Karenanya Andi Makkawaru pun mempersiapkan dirinya sebagai lelaki yang siap melindungi keluarganya.

Donna pun sudah diminta bergegas meninggalkan rumah. Tetapi ketika ia bersiap melangkah menuruni tangga rumahnya, beberapa pemuda sudah lebih dulu merubung rumahnya. Sangat sulit jalan untuk sembunyi.

Tiba-tiba saja sebuah teriakan mengawali malam naas itu. “Itu dia si wanita pezina!”

“Perempuan sial, kamu mau lari kemana?” sergah yang lain.

“Kau harus menebus dosamu dulu di sini,” ancam lelaki bertubuh gempal.

“Ayo tangkap, jangan sampai lepas,” perintah Sompa, musuh bebuyutan Donna.

Dengan langkah gemetar Donna bergerak mundur. Tak disangkanya Sompa ternyata begitu dendam padanya. Sementara beberapa lemparan batu sudah diarahkan kepadanya. Bahkan sudah ada yang nyaris mengenainya.

“Mau apa kalian?” tantang Donna memacu nyalinya.

“Tak usah banyak tanya, Pezina! Kau pembawa sial! Kau harus menghapuskan dosamu dengan nyawa. Ayo tangkap dan hajar dia. Jangan sampai lolos.”

Entah keberanian atau nekad, tiba-tiba Donna dengan berani maju menyongsong. Pada saat yang sama, Andi Makkawaru pun muncul dengan sebilah parang panjang di tangannya. Inilah jalan hidup mati yang dipertaruhkannya.

“Berani kalian menumpahkan darah keluargaku? Langkahi mayatku dulu!” tantang Andi makkawaru.

Melihat kehadiran Andi Makkawaru, membuat para penyerang itu menyurutkan langkah dan sedikit melonggarkan kepungan. Terlebih lagi ketika Andi Makkawaru terus maju dengan pasti.

Dari balik gelap. Tiba-tiba muncul sebuah mobil datang dan menghampiri Donna. Si Om turun dan bermaksud membimbing Donna naik ke mobilnya.

“Cepat naik ke mobil ini,” perintah si Lelaki Misterius yang sering disapa Om itu.

Tapi pada saat yang bersamaan tiba-tiba sebuah batu sebesar kepalan melayang datang dan tepat menghajar bahagian belakang kepala si Om. Lelaki misterius itu pun jatuh tersungkur dengan kepala berlumuran darah.

“Donna cepat pergi, selamatkan dirimu. Jangan pedulikan Om. Pergilah, cepat,” perintah si Om dengan segenap sisa tenaganya. Donna pun nekad duduk di belakang stir, lalu memacu mobil itu secepat mungkin.

Tubuh si Om yang bersimbah darah di kepung dan dihajar oleh para pemuda. Tapi Andi Makkawaru segera membelanya, mencegah kekalapan para pemuda penyerang itu.

“Tunggu, jangan main hakim sendiri. Jangan terhasut provokasi orang yang tidak bertanggungjawab. Kalau ada yang keberatan dengan masalah keluargaku, aku yang bertanggungjawab.” Kata Andi Makkawaru lantang.

Para pemuda penyerang itu mundur beberapa langkah. Andi Makkawaru pun berkesempatan mendekati si Lelaki Misterius yang jadi korban tindak kekerasan para pemuda. la membalikkan tubuh yang tertelungkup tak berdaya itu, dan matanya jadi terbelalak tak percaya ketika mengetahui jati diri si korban.

“Mariolo…..Kau?” serunya kaget.

“Ya, Ini aku Andi……” sahut Mariolo lemah.

Keduanya bertatapan dalam kecamuk perasaan masing-masing, kemudian terpelanting ke masa lalu yang menyejarah dalam hidup mereka.

Masa Lalu Yang Suram

Kenangan masa dulu bagai tertayang kembali. Saat di masa muda Andi Makkawaru, Andi Darauleng dan Andi Mariolo. Di antara mereka pernah terjalin kisah dnta segi tiga yang memicu konflik berkepanjangan.

Ketika itu, Andi Darauleng baru saja selesai kuliah. Ketika Andi Makkawaru sepupunya mencegatnya.

 

“Pulang Kuliah, Andi?” sapa Andi Makka¬waru pada Darauleng.

“Yah,” sahut Andi Darauleng acuh tak acuh.

“Kuantar, ya! Kebetulan aku tidak kuliah hari ini, dosenku masih di ibukota,” pinta lelaki berbadan atletis itu.

“Tidak usah… .saya bisa pulang sendiri. Lagi pula apa perdulimu/’ketus Darauleng.

“Ah, saya punya tanggungjawab kekeluargaan, untuk mengantarkanmu dengan selamat sampai di rumah. Saya kan sepupumu. Apalagi kita sudah dijodohkan. Jadi alasanku jelas,” alasan Andi Makkawaru mahasiswa semester delapan itu.

“Dijodohkan? Ah, kuno itu,” ejek Andi Darauleng pada pria yang dijodohkan orangtua mereka.

“Kalau kau menolak kali ini tidak mengapa. Tapi bagaimana pun aku tidak akan setuju kalau ada lelaki lain yang mengantarkanmu pulang. Sebab itu tanggungjawabku. Apalagi kalau Mariolo. Dia itu turunan ata, hamba sahaya di keluarga kita. Huh, ingat itu, jangan coba-coba.”

Ancam Andi Makkawaru.

Dengan kesal Andi Makkawaru berusaha menarik tangan Andi Darauleng, agar mau pulang bersamanya. Tapi Andi Darauleng berkelit. Dan ketika itu Mariolo tiba sehingga dengan berat Andi Makkawaru harus rela melepaskan tangan wanita yang sudah dijodohkan keluarga untuknya. la pun berlalu karena menghindari konflik di depan umum.

“Saya akan melaporkan kelakuanmu pada Petta. Biar tahu rasa kamu,” ancam Andi Makkawaru sebelum menjauh.

Antara Bumi dan Langit

“Keterlaluan Darauleng. Beraninya anak itu bermain api, dengan mempermainkan kesepakatan keluarga. Menolak perjodohan itu, sama saja dengan mencorengkan arang di muka keluarga.”

“Jangan terbawa emosi, Puang,” bujuk Bungawali pada suaminya La Patinrosi yang masih terbilang paman Andi Makkawaru.

“Bunga, masalah ini harus dicarikan jalan keluarnya sebelum keluarga kita sungguh-sungguh dibuat malu. Darauleng harus segera kita pisahkan dengan anak ata itu. Dan secepatnya kita nikahkan dengan Andi Makkawaru,” putus La Patinrosi.

“Tapi, anak kita itu masih kuliah. Puang.” Sanggah Bungawali perlahan. la tak ingin menyinggung perasaan suaminya.

“Ah, hentikan saja kuliahnya. Apa artinya pendidikan tinggi kalau tak bisa menjaga moral dan etika. Itu sama dengan merusak adat istiadat kita/’umbar sang Ayah.

“Jangan, emosi, Puang. Masalah ini bisa kita bicarakan baik-baik/’ Bujuk Bungawali, istrinya.

“Tidak. Kita harus bertindak cepat dan tegas. Sebelum terjadi hal yang tidak kita inginkan,” timpal suaminya sambil menahan gemuruh emosi di dadanya.

“Kita bicara dulu dengan Darauleng,” pinta istrinya.

“Tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Bagiku keputusanku sudah final. Derajat keluarga kita tidak setara dengan keluarga Mariolo.”

Diantara Dua Piihan

Siang itu, dua kekasih terpuruk dalam kesedihan. Di atas sedan suasana terasa beku, padahal matahari tetap membakar hari. Ada masalah yang membuat sejoli itu gerah, marah. Di zaman modern ini, mengapa masih saja ada cinta terlarang karena kasta.

Andi Darauleng menangis tersedu dipelukan Insinyur Mariolo. Meski keduanya hanya diam dan larut dalam pikirannya masing-masing. Akhirnya Darauleng mencoba memecahkan kebuntuan.

“Rio, bagaimana pun aku rasanya tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak mau jadi korban tradisi, seperti yang dialami ribuan perempuan di negeri ini. Kita harus mengubah tradisi buruk yang telah terjadi puluhan tahun,” kata Darauleng tiba-tiba dengan bersemangat.

Ir Mariolo hanya terdiam. Hatinya duka. Mengapa keluarganya masih saja direndahkan. Mengapa harus dinistakan karena kasta. Padahal di zaman  modern, derajat bisa saja karena tahta, harta dan cendekia.

Tiba-tiba Andi Darauleng mengatakan pernyataan mengejutkan, “Bawa aku pergi menjauh dari persoalan ini, kemana pun kamu suka. Jauh dari negeri ini sekali pun. Di sana, tidak ada lagi perbedaan kasta, derajat antara kau dan aku” harap sang kekasih.

Insinyur Mariolo tetap terdiam. Hatinya semakin duka. Menangis. Bukan karena nista tapi karena tak bisa berkata.

“Mengapa diam saja? Takut? Kalau kamu tidak mau mengambil resiko, biarkanlah aku turun di sini saja dan mengambil jalanku.”

“Mana mungkin nekad seperti itu. Keluargaku akan makin dinistakan,” kilah Mariolo.

“Untukmu aku telah serahkan cinta, segalanya, apa yang masih diragukan lagi?”

“Kita akan semakin salah jika menempuh jalan yang keliru.”

“Aku cuma minta, bawa aku atau turunkan aku di sini!” ancam Darauleng.

Mariolo terdiam. la terjebak pada putusan yang sulit. Antara dua pilihan, cinta dan harga diri.

Karena Mariolo hanya diam, seketika itu juga Andi Darauleng minta diturunkan dari mobil.

Saat bersamaan Andi Makkawaru beserta teman-temannya yang mengendarai motor tiba-tiba menyalib depan mobil Mariolo. Sambil berteriak-teriak menantang.

“Uleng, turun dari mobil itu!” perintah Andi

Makkawaru, sambil meraba-raba pinggangnya mencari badik yang diselipkannya di sana. “Apakah kau benar-benar mau mempermalukan seluruh keluarga kita? Turun!”

Andi Makkawaru, dengan cepat membuka pintu mobil dan menarik Darauleng yang terlihat pasrah. Sementara teman-temannya mengepung mobil Mariolo sembari menebar ancaman. Andi Darauleng kesal melihat kekasihnya yang diam saja, tidak membelanya sedikit pun, bahkan membiarkannya diseret pergi.

Karena kecewa, Andi Darauleng membiarkan saja dirinya diseret-seret. Setelah Andi Darauleng dipaksa naik di boncengan segera Andi Makkawaru meninggalkan tempat itu.

Mahligai Yang Terluka

Sejak itu Andi Darauleng berpisah dengan Insinyur Mariolo. Perkawinannya dengan Andi Makkawaru pun dipercepat. Tidak ada masalah kaerena sejak awal kedua keluarga telah bersepakat.

Tapi baru bulan pertama, kemelut sudah pecah. Itu disulut peristiwa tak terduga. Andi Makkawaru meluapkan kemarahan pada apa saja. Hampir seluruh perabot rumah tangga itu dibantingnya pecah. Sementara Andi Darauleng hanya diam, dengan wajah pasih.

“Katakan, siapa jahannam itu?…….Siapa lelaki yang menodaimu? Pasti kubunuh dia, ini siri’l” umbar Andi Makkawaru sambil memukul-mukul dinding.

Tapi Andi Darauleng tetap diam seribu bahasa. Ada perasaan sedih. Ada perasaan menang, karena ia telah menyerahkan diri untuk cintanya, dan kini berbuah sudah. Ia bisa dikalahkan dalam status, tetapi dalam kenyataan ia tetap tak terpisahkan dengan cintanya pada Mariolo.

“Kau, kau wanita pezina! Laknat kau! Kau lukai mahligai perkawinan kita, kau cemarkan kehormatan rumpun keluarga kita! Adat kita! Keterlaluan!” bentaknya sambil menampar Andi Darauleng.

Darah meleleh di sudut bibir Andi Dara¬uleng, tetapi ia tetap tersenyum di antara airmatanya yang berderai.

“Inilah yang kalian suka. Harga diri yang terluka” bisiknya dalam hati.

Cinta di Ujung Duka

Si Om adalah Insinyur Mariolo, lelaki yang pernah menyita cinta Andi Darauleng. Meski akhirnya Andi Makkawaru yang berhasil menyuntingnya.

Kedua mantan seteru bertatapan dalam kecamuk perasaan masing-masing, Ada perasaan pasrah, yang mempertemukan mereka. Masa lalu telah dibiarkannya menyejarah dalam hidup mereka. Kini di usia senja, sifat bijaklah yang meraja.

“Kau, Daeng?” sapa Mariolo dalam suara melemah.

“Ya, Ini aku. Andi Makkawaru. Ternyata Tuhan akhirnya mempertemukan kita dengan keadaan seperti ini,” ungkapnya perlahan.

“Maafkan aku, Daeng,” mohon Mariolo tulus.

Andi Makkawaru terdiam. la menggeledah diri. Apakah harus menuntaskan dendam atau memadamkannya. Di hadapan tubuh seterunya dulu, yang kini telah sekarat, apakah masih perlu badik yang bicara, sebagaimana janjinya dulu?”

“Maafkan aku, Daeng,” mohon Mariolo sekali lagi. “Donna?”

Dengan berat Andi Makkawaru menguatkan hatinya. Meredam gejolak emosinya yang tidak dewasa. Sebagai lelaki, ia tak tega berdusta di hadapan tubuh yang sekarat itu, meski orang tersebut adalah mantan seterunya.

“Ya, Donna adalah anakmu, aku hanya membesarkannya seperti anak kandungku sendiri. Aku menjaganya sekuat tenaga. Meski lagi-lagi nasib bicara lain, tapi aku tetap menyayanginya. Aku ingin menebus kesalahanku dulu. Aku kini semakin mengerti apa arti cinta suci. Tak ada satu pun yang bisa mengalahkannya. Menyita cinta suci, bagiku adalah dosa.”

“Terima kasih, Daeng. Terima kasih. Jaga anakku baik-baik. Aku ikhlaskan Donna jadi anakmu, anak kita.” pungkas Mariolo di puncak sekaratnya.

Andi Makkawaru tidak menjawabnya dengan kata-kata. Tapi matanya telah memancarkan sinar maaf yang tulus. Begitu sampai Mariolo dijemput sang malaikat maut, Andi Makkawaru merasa lega karena telah melunaskan kesalahannya di masa lalu. Ia merasa terbebas dari siksaan batin yang bertahun-tahun. Kini tuntas sudah.

Di kota sebuah mobil berhenti tiba-tiba. Donna turun dengan wajah pucat dan berlari mencari sahabatnya Ory di tempatnya kost. Ia menggedor-gedor pintu. “Ory buka pintu…. buka pintu!” desak Donna.

Meski telah digedor sekian kali, tidak juga dibuka. Ory tidak di rumah. Dengan putus asa, Donna menyandarkan diri di pintu dengan perasan gundah. Sampai suasana serasa mengabur, mengabur.

Di saat-saat waktu yang terus berlalu, tiba-tiba ia menangkap bayangan Ricky kekasihnya. Di antara rasa percaya dan ragu yang mengabur, ia menyongsong belahan cintanya itu. Dan menangis sepuasnya di pelukan sang kekasih.

“Ya, ini aku Donna. Aku kembali, honey. Maafkan aku yang terpaksa membiarkanmu selama ini, berada di atas bara kehidupan.”

 

 

Mempertahankan Nilai Kearifan Budaya Lokal Sulawesi Selatan, Sebuah Keniscayaan?

February 15, 2010
Manusia mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan di muka bumi ini karena kemampuan berpikir secara ”metaforik” dan menggunakan seluruh indra untuk beraktivitas.
Kemampuan berpikir secara “metaforik” itu tercermin dalam “simbol” yang penuh ungkapan makna dalam apresiasi gerak untuk menyampaikan pesan, pengalaman, bahkan ungkapan perasaan kepada sesamanya secara efektif, etis dan berkemanusiaan.

Dengan simbol yang diungkapkan itulah, manusia mampu berhubungan secara langsung atau tidak langsung menembus batas komunitas dan generasi dalam suatu “interaksi” sosial budaya.

Semakin luas jaringan dan intensitas interaksi sosial budaya yang berkembang pada komunitas lokal dengan komunitas “asing” di luar komunitasnya, maka semakin besar peluang untuk mengembangkan masyarakat dan “kebudayaannya”.

Sebaliknya semakin terisolir suatu komunitas dari lintasan orbitasi sosial budayanya, apalagi menutup diri dari pergaulan dengan komunitas luar, maka semakin besar hambatannya untuk mengembangkan pembaharuan “budaya” yang kini tidak lagi mengenal batas geografik, negara dan bangsa.

Ralp Linpton seorang antropolog kenamaan Amerika menyatakan bahwa didunia ini tidak ada lagi masyarakat yang berhak menyatakan bahwa “kebudayaannya” masih asli.

Selebihnya merupakan hasil tukar menukar dan pinjam meminjam unsur kebudayaan yang diserap secara murni ataupun dimodifikasikan. Demikian pula sebagian besar pengembangan unsur kebudayaan “setempat” biasanya merupakan pengembangan yang diilhami oleh pengaruh kontak “budaya” dengan pihak luar.

Demokrasi dan reformasi, suatu fenomena baru dalam interaksi sosial budaya memberi warna dan nuansa baru dalam tatanan kehidupan global, suka tidak suka, akan memengaruhi dan memberi dampak positif dan negatif.

Dampak negatif bila tidak diproteksi secara dini mengakibatkan dunia kebudayaan kita menjadi semakin terpuruk dan sangat menderita. Hal ini diperparah dengan “model” pendekatan pembangunan di negara kita yang tercinta ini lebih prioritas pada pembangunan ekonomi dan politik.

Nilai “kebendaan” menjadi sangat kuat dan menonjol, sementara nila nilai non ekonomi, nilai-nilai batin dan nilai nilai “spiritual” merosot tajam. Ukuran keberhasilan seseorang cenderung dinilai secara “ekonomi kebendaan”.

Sementara nilai nilai moral, nilai nilai batin dan spiritual, nilai kewibawaan, keadilan dan nilai nilai “kearifan budaya leluhur” menjadi komoditas eceran. Kondisi seperti ini masih ditambah lagi dengan kemajuan yang pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Teknologi komunikasi, teknologi informasi, menjadi media yang sangat menarik mengantar masuknya kebudayaan barat, “kebudayaan otak” ke negeri kita, dan menyingkirkan “kebudayaan rasa” yang dimiliki sebagai “nilai warisan” nenek moyang kita.

Dengan kemajuan tersebut, sekarang batas budaya antar bangsa sudah semakin tidak jelas. Semua aspek kehidupan bangsa telah tercemari nilai-nilai kebendaan tersebut. Dunia pendidikan sudah mengabaikan mutu, sementara yang dikejar adalah ijazah.

Ukuran terhormat bagi seseorang hanya dinilai pada jumlah kekayaan yang dimiliki menjadikan komunitas etnis atau masyarakat tradisional, sangat sulit untuk mempertahankan “budaya” lokal sebagai warisan leluhur mereka.

Masyarakat tradisional Indonesia pada umumnya percaya akan adanya suatu tatanan, aturan tetap, yang mengatur segala apa yang terjadi di alam dunia yang dilakukan oleh manusia.

Tatanan atau aturan itu bersifat “Stabil”, “Selaras” dan “Kekal’”. Aturan itu merupakan tatanan “budaya” sebagai sumber segala kemuliaan dan kebahagiaan manusia. Apapun yang dilakukan manusia harus sesuai atau selaras dalam tatanan kehidupan alam sekitarnya.

Apabila tidak bertentangan dengan alam, niscaya hidupnya akan tenang dan damai. Yang menyimpang dari tatanan dan aturan merupakan “dosa” yang patut menerima sanksi atau hukuman.

Masa itu perbuatan manusia selalu berdimensi dua, yaitu “mistik” dan “simbolik”. Untuk mengungkap kepercayaan akan makna hidup, manusia memakai tanda tanda atau “simbolik”,
dua macam tanda penting, pertama : “mitos asal”, atau tafsir tentang makna hidup berdasarkan asal kejadian masa lalu. Kedua : “Ritual” upacara berupa perlakuan simbolis yang berfungsi untuk memulihkan harmoni tatanan alam dengan manusia,
agar manusia terhindar dari malapetaka dan memberikan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupannya. Inilah dasar-dasar filosofi yang mengatur “Budaya” masyarakat tradisional.
Pola pemikiran masyarakat tradisional pada umumnya hidup dalam budaya “kosmologi”. Awalnya, kehidupan manusia hanya terbatas pada kehidupan dirinya sendiri, “Egocentrum”.
Kemudian manusia mengembangkan dorongan naluri dan nalarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka kehidupan ”egocentrum” akan menjadi bagian integral dari kehidupan Habitat sekitarnya, yang diatur dalam sebuah tatanan “budaya” atau “kebudayaan”.
Masyarakat tradisional sering dianggap sebagai masyarakat yang hidup dalam suasana kepercayaan leluhur yang dipengaruhi oleh “ethos budaya” dan mempunyai sifat-sifat khusus, antara lain kekhususan itu ditandai dengan cara mempertahankan suasana hidup selaras, harmonis dan seimbang dengan kehidupan “habitat” sekitarnya.
Keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya, pola hubungan antar manusia. Hubungan manusia dengan habitat sekitarnya didasarkan pada anggapan bahwa eksistensinya hidup dalam kosmos alam raya dipandang sebagai suatu tatanan yang “teratur” dan “tersusun” secara “hirarkis” dalam sebuah “tatanan budaya” yang terjaga.
Malinowski dengan konsep tentang “Cultural Universal” melihat unsur-unsur kebudayaan universal yang dimiliki oleh masyarakat tradisional maupun masyarakat modern terdiri dari tujuh unsur, yaitu bahasa termasuk aksara, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem teknologi, religi dan kesenian.

Tujuh unsur universal ini menjadi wujud nyata dari tatanan budaya yang menjadi bayangan cerminan dari kehidupan manusia dari masa ke masa.

Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, terdapat “value” atau nilai nilai budaya yang berasal dari “value” masyarakat tradisional lokal, dan telah menjadi suatu tatanan “budaya”
yang dianggap mengatur dan mengikat sehingga patut dijadikan sebagai pedoman hidup bagi semua perilaku dan pengambilan keputusan karena nilai itu dianggap etis, logis, mulia, sakral, mengandung harapan masa depan, dan menjadi identitas jati diri dan karakter bangsa.
Nilai budaya dipahami sebagai konsepsi yang hidup dalam alam pikiran dari sebagian besar masyarakat tradisional sebagai sesuatu yang berharga dalam hidup. Karena itu nilai menjadi dasar dari kehidupan manusia dan menjadi pedoman ketika orang akan melakukan sesuatu.
Koentjaraningrat berkata; bahwa nilai budaya suatu masyarakat bisa berubah. Terjadinya perubahan nilai itu menunjukkan bahwa nilai budaya tidak muncul begitu saja.

Nilai budaya suatu masyarakat diproduksi, dipertahankan, dan dikomunikasikan melalui media seperti; media pendidikan, sistem ekonomi, organisasi, upacara tradisional, kesenian tradisional, maupun arsitektur tradisionalnya.

Kita tidak akan mampu menolak modernitas kebudayaan sebagai konsekuensi dunia yang mengglobal. Setiap kebudayaan selalu mengalami perubahan dari masa ke masa.

Perubahan itu tergantung dari dinamika masyarakatnya. Terjadinya perubahan tatanan budaya bukan hanya disebabkan oleh pengaruh eksternal, tetapi juga akibat pengaruh internal karena berubahnya cara pandang masyarakat tradisional terhadap perubahan kehidupan dan penghidupan mereka.

Kebudayaan memang bersifat dinamis, berkembang dan mengalami pengaruh lingkungan strategisnya yang menjadikan kebudayaan berubah dari waktu ke waktu. Perubahan itu menyebabkan beberapa unsur kebudayaan universal mencapai puncak orbitasi dalam kulminasinya dan mempunyai nilai yang semakin tinggi.

Nilai tersebut menjadi kebanggaan dan merupakan jati diri etnis yang bersangkutan.
Abu Hamid berpendapat bahwa Etnis Bugis Makassar mencapai puncak kebudayaannya ketika ditemukannya aksara lontara dan sistem komunikasi dengan bahasa etnis Bugis Makassar.

Di dunia ini tidak semua etnis mempunyai aksaranya sendiri. Sedangkan sistem etika dan moral sebagai nilai utama orang Bugis Makassar, seperti lempu (kejujuran), getteng (tegas dan konsisten), sipakatau (saling menghargai), dan ada tongeng (berkata benar). Menjadi rujukan dalam berbagai aspek kehidupan.

Kepemimpinan etnis Bugis Makassar dengan penerapan nilai kearifan budaya dan etos kerja selalu memberikan spirit tinggi di dalam bertindak, seperti; taro ada taro gau (satunya kata dan perbuatan), sipatuo sipatokkong, abbulo sibatang.

Dalam interaksi sosial budaya beberapa kartakter penting seperti ; barani (keberanian), macca (pintar), makkareso (berusaha), mappasitinaja (kewajaran dan kepatutan sepertinya memberikan warna keagungan dan keanggunan dalam jatidiri dan karakter para pemimpin dan decision maker orang Bugis Makassar.

Namun bumi semakin panas dan mengglobal, dunia sepertinya tanpa sekat. Hampir semua nilai essesial itu menjadi luntur dan mengalami degradasi yang sulit dihindari.
Identifikasi “esensi”

kearifan budaya lokal yang menunjukkan identitas dan karakter budaya lokal mestinya terlihat secara jelas dalam konsep ketahanan budaya lokal yang mestinya nilai kaearifan budaya lokal tetap terjaga dan menjadi niilai yang tetap ada untuk memperkokoh ketahanan budaya lokal.

Untuk menuju ke arah ketahanan budaya lokal dan Pelestarian “Esensi” dan Pengembangan “Substansi” unsur unsur budaya universal, perlu tetap diupayakan :

• Memahami esensi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dilestarikan berlandaskan warisan kearifan budaya lokal.

• Memahami substansi masing-masing nilai kearifan lokal untuk dikembangkan ke dimensi kekinian, sejalan waktu dan kemajuan teknologi yang berorientasi ke masa depan.

• Bahwa mempertahankan jati diri dan karakter etnis lokal amatlah penting di tengah deraan arus modernisasi dan kecenderungan universalisasi.

• Namun hidup dan kehidupan memang berhak berkembang sehingga perubahan lingkungan strategis etnis perlu diperhitungkan untuk pengembangan dan ketahanan budaya etnis lokal.

Semakin cepat dilakukan kajian untuk menggali kearifan budaya lokal semakin baik, para sesepuh, cendekia bidang budaya, sosiologi dan arsitektur tradisional, diadopsi pengetahuannya kekonsep ketahanan budaya,

sehingga kita dapat merajut kembali kejayaan budaya etnis lokal Sulawesi Selatan untuk diwujudkan di kekinian(Syahriar tato)

mengejar tapak ALLAH,paragraf 49

January 26, 2010
In trip through the night I am worried.Try to kill all my dream and illusion,but I cannot….o my ALLAH,in the middle of the frozen evening in  my lovely,I want to hug YOU like what I did yesterday,like when I feel.YOU are mine,and I am YOURS(disepanjang perjalanan malam aku gelisah.Mencoba membunuh seluruh mimpi dan angan,dengan sia sia…ya ALLAH,ditengah malam yang beku didalam cintaku,aku ingin memeluk MU lagi sepereti kemarin.Seperti ketika aku merasa,KAU milikku,dan aku adalah aku MU>mengejar tapak ALLAH,paragraf 49)

sajak mengejar tapak ALLAH,paragraf 48

January 26, 2010

SyahriarTato Lacoste Full oo my GOD ALLAH,on the darkness,I see the evil spirit,setting trap,trap for my steps,trap for any people(ya ALLAH,didalam kegelapan,aku melihat iblis,tengah memasang jebakan bagi langkah langkahku,perangkap bagi siapapun><sajak mengejar tapak ALLAH,paragraf 48)

sajak mengejar tapak ALLAH,paragraf 47

January 26, 2010

SyahriarTato Lacoste Full together with dreamer,i am standing on YOUR hand,go along to unfold the sky.and YOU are there,my GOD ALLAH.and I,suddenly hunt against destiny,to flatter YOU,even just in pray(bersama para pemimpi,aku bregelantungan dilengan MU,menyusur bentang langit.dan ENGKAU disana ya ALLAH.dan akupun sertamerta berburu melawan kod…rat,untuk mencumbuMU,sekalipun dalam doa><sajak mengejar tapak ALLAH,paragraf 47)

sajak mengejar tapak ALLAH,paragraf 46

January 25, 2010

SyahriarTato Lacoste Full even sandstorm waves,cannot vanish the GOD ALLAH footstep.my footstep disseminating somewhere,to fine the source of love,reflected from rainbow(pun gelombang badai pasir,tak mampu menghapus tapak ALLAH.entah sampai tidak napaktilasku,mencari biang CINTA,dibias bianglala><sajak mengejar tapak ALLAH,paragraf 46)

sajak mengejar tapak ALLAH,paragraf 45

January 25, 2010

SyahriarTato Lacoste Full o my GOD ALLAH,i entrust my all dream to space and silent time,to the sky that polished by dark red color,to the land of sand that covered with hot dust(ya ALLAH,kutitipkan mimpi mimpiku,keruang dan waktu bisu.kutitipkan pada langit yg berpoles warna merah kesumba,pada sepadang pasir yg terbungkus debu panas(sajak mengejar tapak ALLAH,paragraf 45)

mengejar tapak ALLAH,paragraf 44

January 25, 2010

SyahriarTato Lacoste Full o RABB’ARSY,even my temporary eye,have dragged my human being soul,to the darkness country.darkness king attacked,every breathe in the crouded street,untill lose all direction(ya RABB’ARSY,pun mata fanaku,telah menyeret roh manusiaku kenegeri kegelapan.raja kegelapan menyergap setiap nafas dijalan jalan sesat,hingga hi…lang segala arah><sajak mengejar tapak ALLAH><sajak mengejar tapak ALLAH,paragraf 44)

sajak mengejar tapak ALLAH,paragraf 43

January 25, 2010

SyahriarTato Lacoste Full o RABB’ARSY,even my temporary eye,have dragged my human being soul,to the darkness country.darkness king attacked,every breathe in the crouded street,untill lose all direction(ya RABB’ARSY,pun mata fanaku,telah menyeret roh manusiaku kenegeri kegelapan.raja kegelapan menyergap setiap nafas dijalan jalan sesat,hingga hi…lang segala arah><sajak mengejar tapak ALLAH,paragraf 43)

sajak mengejar tapak ALLAH,paragraf 42

January 25, 2010

SyahriarTato Lacoste Full in the sky,have many time knotted time,but my bare eye get lazy,unable to know YOUR sign of era,through unknown language,o ALLAH(dilangit,telah berkali tersirat isyarat,tapi mata kasadku rabun,tak mampu membaca tanda zaman,lewat bahasa yg tak kukenal,ya RABBI:><sajak mengejar tapak ALLAH,paragraf 42