Archive for December 24, 2009

pengelolaan sampah

December 24, 2009

STUDI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR (TPA) SAMPAH

December 24, 2009

 Abstract

The aim of the study was to find out the physical characteristics of the final dumping site and its suitability with  the concept of spatial arrangement and its impact on the quality of water around it.

The study was descriptive. The variables studied were topographical, hydrological, geological, and physical conditions of the town  spatial arrangement, land use around it, accecibility, BOD5, and E. Coli Bacteria.

The results of the study indicate that the physical characteristics of the final dumping site support the permeation of leaches toward the river and settlement area in the western part of the location. The land use condition is relatively heterogeneous around the dumping site and there is no relationship between the components of space function. The dumping site is not suitable viewed from  the aspect of spatial arrangement. Based on BOD5 and content of E. Coli Bacteria, it is apparent that the distance, topographical, and geological conditions have an effect on water pollution in the dumping site and its vicinity. The effect of E. Coli Bacteria on the distance (S1-S14) of the dumping site indicates that the decrease tends to be linear, but at samples S15-S24, it tends to increase significantly. This condition indicates that the E. Coli Bacteria around the location is not only affected by the existence of the dumping site, but also by other factors such as the activities of the community around the location.     

 

 


I.  PENDAHULUAN

  1. A.        Latar Belakang

Kota Enrekang mengalami perkembangan yang pesat, yang berpengaruh terhadap meningkatnya produksi sampah di kota tersebut. Berdasarkan data dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Enrekang, produksi sampah Tahun 1997 di Kota Enrekang sebesar 29,31 m3/hari, kemudian pada Tahun 2002 menjadi 34,77 m3/hari ( meningkat rata-rata sebesar 3,72 %/tahun).

Kebijakan pemerintah Kabupaten Enrekang dalam pengolahan TPA sampah yaitu menggunakan metode Lahan Urug Terkendali (Controlled Landfill). Prinsip pengolahan metode Lahan Urug Terkendali adalah secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah kemudian dilakukan perataan dan pemadatan sampah.

Efektifitas penggunaan metode tersebut harus mempertimbangkan aspek  kondisi fisik TPA, jenis dan karakteristik sampah, kemampuan pendanaan, dan prasarana pendukungnya (Notoatmodjo, S. 1997). Tanpa mempertimbangkan aspek-aspek tersebut akan menimbulkan pencemaran lingkungan di sekitarnya, seperti terbentuknya rembesan lindi yang dapat mencemari air permukaan dan air tanah dangkal, serta polusi udara, serta pencemaran tanah. Indikasi tersebut lebih dipertegas dari penelitian terdahulu yang dilakukan di TPA Tamangapa oleh (Arifin 2001) yang menyimpulkan bahwa rembesan lindi yang keluar dari timbunan sampah membentuk alur yang mencemari air permukaan dan air tanah dangkal sekitar TPA.

Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan oleh (Yuliana 2001)  menunjukan bahwa beberapa sumur di sekitar TPA Kabupaten Enrekang kondisi airnya berbau. Lebih lanjut Yuliana  menyimpulkan bahwa kondisi kualitas air sumur  di sekitar TPA Kabupaten Enrekang relatif berbau dan berubah warna terutama sumur-sumur yang berjarak sekitar 100 meter dari lokasi TPA.  Juga disimpulkan bahwa penyakit diare dan kudis yang menjadi keluhan masyarakat sejak pertengahan Tahun 2000 disebabkan oleh pencemaran air akibat rembesan air lindi dari TPA tersebut. Mempertimbangkan jenis sampah di Kota Enrekang, maka di dalam penelitian tersebut disarankan pengolahan sampah dilakukan dengan pengomposan.

  1. B.   Perumusan Masalah
    1. Bagaimana karakteristik fisik lokasi TPA sampah di Desa Batu Mila Kabupaten Enrekang ?
    2. Apakah penempatan TPA sampah Kabupaten Enrekang sesuai dengan konsep penataan ruang? 
    3. Apakah TPA sampah Kabupaten Enrekang mencemari air lingkungan di sekitarnya ?

C.  Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui dan menjelaskan karakteristik fisik lokasi TPA sampah di Kabupaten Enrekang.
  2. Untuk mengetahui dan menjelaskan kesesuaian penempatan TPA sampah Kabupaten Enrekang di tinjau dari aspek penataan ruang kota. 
  3. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengaruh TPA Sampah Kabupaten Enrekang terhadap pencemaran air lingkungan di sekitarnya.

D.  Kegunaan Penelitian

  1. Sebagai salah satu masukan dalam pengolahan TPA sampah di Kabupaten Enrekang.
  2. Sebagai salah satu  masukan dalam penentuan lokasi TPA di Kabupaten Enrekang, dan kabupaten lainnya secara umum.
  3. Sebagai salah satu masukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya di bidang persampahan. 

 

  1. II.      TINJAUAN PUSTAKA
  2. A.     Pengertian Sampah

Menurut American Public Health Association, sampah (waste) diartikan sebagai suatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang dibuang, berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Menurut Mustofa (2000) sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama  dalam pembikinan atau pemakaian, barang rusak atau bercacat dalam pembikinan atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan.

Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, maka sampah didefinisikan sebagai suatu zat atau benda-benda yang tidak terpakai lagi yang bersumber dari aktivitas manusia dan proses alam baik yang bersifat zat organik dan zat anorganik yang dianggap tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan.

  1. B.     Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah adalah upaya  yang sering dilakukan  dalam sistem manajemen persampahan dengan tujuan antara lain untuk meningkatkan efesiensi operasional.  Menurut Madelan (1997), terdapat enam aktifitas yang terorganisir di dalam elemen fungsional teknik operasional pengelolaan sampah, sebagai berikut;

  1. Timbulan Sampah (Waste Generation)
  2. Pewadahan (Onside Storange)
  3. pengumpulan (Collection)
  4. Pemindahan dan Pengangkutan (Transfer dan Transport)
  5. Pemanfaatan Kembali (Procesing dan Recovery)
  6. Pembuangan Sampah (Disposal)
  7. C.     Pengolahan  TPA Sampah

Menurut Ryadi (1986), cara pembuangan akhir sampah merupakan salah satu aspek  strategis  dalam sistem pengolahan sampah. Beberapa  metode pengolahan sampah  dalam penerapannya adalah sebagai berikut;

  1. Open Dumping atau pembuangan terbuka;  merupakan cara pembuangan sederhana di mana sampah hanya dibuang pada suatu lokasi, dibiarkan terbuka tanpa pengaman dan ditinggalkan setelah lokasi penuh.
  2. Controlled Landfill: Metode ini merupakan peningkatan dari open dumping dimana secara periodik sampah yang telah tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk menghindari potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan.  Dalam operasionalnya juga dilakukan perataan dan pemadatan sampah untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukaan TPA.
  3. Sanitary Landfill: metode ini dilakukan dengan cara sampah ditimbun dan dipadatkan kemudian ditutup dengan tanah, yang dilakukan terus menerus secara berlapis-lapis sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pekerjaan pelapisan sampah dengan tanah penutup dilakukan setiap hari pada akhir jam operasi. 
  4. Inceneration; cara ini dilakukan dengan cara membakar sampah.
  5. Composting: cara pengolahan  sampah untuk  kebutuhan  pupuk tanaman.
  6. Individual Inceneration; setiap orang atau rumah tangga  membakar sendiri sampahnya.
  7. Recycling: cara ini memanfaatkan dan mengolah kembali  sebagian sampah, seperti kaleng, kertas, plastik, kaca/botol dan lain-lain.
  8. Hog Feeding: cara pengolahan dengan sengaja mengumpulkan jenis sampah basah (gerbage) untuk digunakan  sebagai makanan ternak.

Sejalan dengan itu, Wardhana (1995)  menjelaskan bahwa walaupun sudah disediakan TPA,  namun karena sampah yang dihasilkan terus bertambah,  sehingga TPA ikut semakin meluas. Oleh karena itu, perlu dipikirkan lebih lanjut bagaimana mengurangi jumlah limbah padat (sampah) sampai ke TPA dengan memanfaatkan kembali limbah padat tersebut melalui daur ulang dan sistem pengomposan. 

  1. D.     Pemilihan Lokasi TPA Sampah

Berdasarkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 125/KPTS/1991 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi Pembuangan Akhir Sampah, dijelaskan kriteria pemilihan lokasi TPA sebagai berikut;

  1. Kriteria Regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak-tidaknya  penempatan TPA, sbb;
    1. Kondisi geologi; yaitu tidak berlokasi pada daerah besar yang aktif dan bukan pada zona bahaya geologi.
    2. Kondisi hidrogeologi; yaitu tidak memiliki muka air tanah kurang dari 3 meter, tidak boleh kandungan tanah lebih 10-6 cm/det,  jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter dari hilir aliran.
    3. Kemiringan zona harus kurang dari 20 %.
    4. Jarak dari bandara harus lebih besar dari 3.000 mtr.
    5. Tidak pada daerah lindung dan daerah banjir periodik ( 25 thn).
    6. Kriteria penyisih yaitu kriteria untuk memilih lokasi terbaik yaitu dari kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut;
      1. Iklim yang meliputi: intensitas hujan kecil. arah angin dominan tidak menuju kepermukiman.
      2. Utilitas, tersedia lebih lengkap.
      3. Lingkungan biologis meliputi: daya dukung kurang menunjang flora dan fauna, habitat kurang bervariasi.
      4. Kondisi tanah meliputi: produktifitas tanah rendah, kapasitas besar, tersedia tanah penutup yang cukup, status tanah tidak bervariasi.
      5. Kepadatan penduduk rendah.
      6. Masih dalam wilayah administrasi Kabupaten berangkutan.
      7. Memiliki zona penyangga yang cukup, untuk bau dan kebisingan.
      8. Estetika lingkungan (tidak terlihat dari keramaian dan jalan umum).
      9. Biaya pengelolaan dan pengolahan yang murah.

Sejalan dengan itu, berdasarkan pedoman penyusunan tata ruang wilayah dan kota Tahun 1997,  faktor pertimbangan penentuan lokasi TPA sebagai berikut;

1.  Di luar kawasan lindung (cagar alam, tangkapan air, hutan lindung);

2.  Jauh dari sumber air  bersih dan daerah rawan bencana;

3.  Di luar aktifitas perkotaan, tetapi  memiliki akses pencapaian yang baik;

4.  Mempertimbangkan kecenderungan perkembangan  kota;

5.  Berlokasi pada lahan-lahan non produktif;

6.  Berorientasi pada pemanfaatan jangka panjang;

7.  Tidak harus dibatasi oleh wilayah administrasi.

  1. E.     Pencemaran Air  Lingkungan

Menurut Wardana (1995), air yang bersih tidak hanya ditetapkan pada kemurniannya saja, tetapi didasarkan pada keadaan normalnya. Jadi air tercemar apabila air tersebut telah menyimpang dari keadaan normalnya. Tanda-tanda atau indikator air lingkungan telah tercemar  adalah adanya perubahan yang dapat diamati melalui; (i) perubahan suhu air, (ii) perubahan pH, (iii) adanya perubahan warna, bau, dan rasa, (iv) timbulnya endapan, koloidal, bahan tersuspensi, (v) adanya mikroorganisme, (vi) meningkatnya BOD5 air lingkungan. Sejalan dengan itu, menurut Notoadmodjo (1997), syarat-syarat air yang sehat sebagai berikut;

  1. Syarat fisik air minum adalah bening (tidak berwarna), tidak berasa, suhu di bawah suhu udara di luarnya.
  2.  Syarat bakteriologis air minum harus bebas dari segala bakteri terutama bakteri patogen. Apabila   dari pemeriksaan 100 cc air terdapat kurang dari 20×102 Bakteri  E. Coli, maka air tersebut sudah memenuhi syarat kesehatan.
  3. Syarat kimia air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu  dalam jumlah tertrentu pula.

Lebih jelasnya baku mutu air, dapat dilihat tabel berikut;

Tabel 1. Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Domestik (KepGub. Sulsel No. :14 Thn 2003)

Paramater Satuan Kadar Maksiman*
A B C
pH 6-9 6-9 6-9
BOD5 mg/l 25 40 75
COD mg/l 80 100 125
TSS mg/l 20 35 50
B.E. Coli MPN/ 100 ml 2500 5000

Keterangan:

* = Kecuali pH

Kategori A : 

– Kawasan permukiman (real estat) ukuran > 200 Ha

–   Restourant [rumah makan] ukuran > 2.300 m2

–   Perkantoran, perniagaan dan apartemen ukuran > 50.000 m2.

Kategori B 

–   Kaw. permukiman (real estat) ukuran 16-200 Ha.

–   Restourant [rumah makan] ukuran 1.400-2.300 m2

–   Perkantoran, perniagaan dan apartemen ukuran 10.000-50.000 m2.

Kategori C 

–   Restourant [rmh makan] ukuran 500-1.400 m2

–   Perkantoran, perniagaan dan apartemen dengan ukuran 5.000-10.000 m2.

  1. III.   METODE  PENELITIAN

A.       Populasi dan Sampel

Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah air lingkungan yang terdapat di sekitar lokasi TPA yang terdiri atas rembesan air lindi (air genangan), air sumur dangkal dan air Sungai Mila dengan jumlah sampel sebanyak 24 titik. Pengambilan sampel didasarkan pada kondisi topografi (arah pergerakan lindi) dan jarak. Metode penarikan sampel ini dilakukan secara sengaja (Purposive Sampling), pada daerah rembesan air lindi di lokasi TPA (2 sampel), pada rembesan air lindi/air genangan sekitar lokasi TPA (12 sampel),  pada sumur-sumur di sekitar lokasi TPA (8 sampel) dan di sungai Mila (2 sampel).   

B.       Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data disesuaikan dengan data yang akan diambil, meliputi;

1.  Pengukuran; melakukan pengukuran terhadap indikator kualitas air yang meliputi BOD5 dan Bakteri E. Coli.

2.  Observasi; Pengamatan yang dilakukan secara langsung terhadap kondisi fisik alamiah TPA sampah dan guna lahan daerah sekitarnya, dengan melakukan sketsa dan pemetaan tematik lokasi. Teknik ini digunakan untuk mendiskripsikan secara terperinci karakteristik fisik di sekitar TPA.

3.  Wawancara; (i) Teknik wawancara non struktur, yaitu melakukan wawancara kepada Aparat Pemda Enrekang berkaitan dengan lokasi TPA sampah di Kabupaten Enrekang, dan (ii) Focus Group Discussion, yaitu wawancara kepada kelompok masyarakat tentang TPA sampah di Kabupaten Enrekang.

4.  Dokumentasi; Merupakan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait seperti BPS, Bappeda, Bapedalda, BPN, serta penelitian terdahulu yang relevan.

C.       Variabel Penelitian

Dari uraian rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat dirumuskan variabel penelitian sebagai berikut;

1.      Untuk menjawab rumusan masalah pertama, ditentukan variabel, sbb;

  1. Kondisi Topografi
  2. Kondisi Hidrologi
  3. Kondisi Geologi

2.      Untuk menjawab rumusan masalah kedua, ditentukan variabel sbb;

  1. Penggunaan Lahan sekitar TPA
  2. Pencapaian (Aksesibilitas)
  3. Perkembangan Fisik Ruang Kota Enrekang

3.      Untuk menjawab rumusan masalah ketiga, ditentukan variabel –variabelnya, meliputi; BOD5  dan Bakteri E. Coli. 

D.       Metode Analisis

Teknik analisis data yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah, sbb;

  1. Rumusan masalah butir (a) dianalisis dengan teknik statistik diskriptif.
  2. Rumusan masalah butir (b), dianalisis dengan teknik statistik diskriptif.
  3. Rumusan masalah butir (c), dianalisis dengan menggunakan analisis  statistik diskriptif.
    1. Kecenderungan Perkemb. Fisik Kota
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.    Tinjauan Lokasi TPA terhadap Tata Ruang Kota

Arah perkembangan Kota Enrekang dihambat oleh keadaan alam berupa gunung yang ada di sekelilingnya. Pengembangan ruang fisik secara ekstensif di Kota Enrekang tidak memungkinkan lagi, sehingga harus mempertimbangkan alternatif lahan-lahan kosong pada daerah sekitarnya yang potensi untuk kegiatan perkotaan.

Secara alamiah kecenderungan perkembangan fisik kota saat ini adalah mengikuti jalur jalan poros ke selatan Kota Enrekang dan sebagian kecil berkembang ke arah timur.

Perkembangan fisik kota saat ini menunjukan fenomena penggunaan ruang yang tidak mempertimbangkan pelestarian lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa permukiman masyarakat yang telah merambah sampai ke kawasan lindung yang terdapat di arah timur dan utara kota ini.

  1. Kebijakan Penataan Ruang Kota

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Enrekang Tahun 2001-2010 sebagai salah satu instrumen yang berkekuatan hukum dalam pemanfaatan ruang di Kabupaten Enrekang, telah mengarahkan penggunaan ruang Kabupaten Enrekang sedemikian rupa sebagai pengejawantahan dari visi Kabupaten Enrekang. Salah satu arahan pengembangan fisik Kota Enrekang menurut RTRW tersebut adalah wilayah Kecamatan Maiwa, dimana arahan fungsi pengikat wilayah Kecamatan Maiwa tersebut adalah industri dan perkebunan, sedangkan fungsi penunjang adalah permukiman dan fasilitas pendukung lainnya. Sementara itu, lokasi TPA yang ada saat ini juga terdapat di Kecamatan Maiwa.

  1. Aksesibilitas

Secara umum  sistem transportasi darat di Kabupaten Enrekang sangat dipengaruhi pola persebaran permukiman dan kondisi geografis wilayahnya. Pola permukiman yang terpencar serta kondisi geografi relatif bergelombang/pegunungan, menjadi kendala dalam pengembangan ruang Kabupaten Enrekang termasuk pengelolaan persampahan.

Sistem pengelolaan persampahan di Kabupaten Enrekang belum menunjukan hasil yang optimal baik ditinjau dari aspek pewadahan/ pengumpulan maupun dari aspek pengangkutan ke TPA. Jarak Kota Enrekang ke lokasi TPA yang relatif jauh yaitu sekitar 23 km serta sistem pewadahan/pengumpulan yang masih didominasi oleh metoda individual merupakan kendala yang dalam rangka teknik operasional pengelolaan sampah di Kabupaten Enrekang. Tingkat pencapaian armada angkutan sampah ke TPA ditempuh selama  6 jam tiap kali pengangkutan. Sehingga tiap kendaraan masing-masing hanya bisa mengangkut sampah 2 kali / hari. Jumlah armada angkutan sampah yang dioperasikan tiap hari sebanyak 2 unit dengan kapasitas 6 m3/unit, sehingga jumlah rata rata pengangkutan setiap hari sebanyak empat kali kendaraan atau sebanyak 24 m3, sementara volume produksi sampah tiap hari di Kota Enrekang adalah kurang lebih 34,77 m3/hari.

Oleh karena itu, dipertimbangkan  alternatif lokasi baru TPA Kota Enrekang yang mudah dijangkau, namun tetap mempertimbangkan aspek lingkungan hidup.

  1. Aspirasi Masyarakat

Hasil wawancara dengan 60 responden di Kota Enrekang yang terdiri masyarakat sekitar TPA (15 responden) dan masyarakat Kota Enrekang (40 responden) serta Pemda Kabupaten Enrekang dalam hal ini Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Enrekang (5 responden), secara umum menjawab pertanyaan bahwa tidak sepakat penempatan lokasi TPA di Desa batu Mila, dengan pertimbangan;

–          Lokasi TPA sampah relatif jauh dari Kota Enrekang.

–          Tingkat pencapaian yang relatif sulit ke lokasi TPA.

–          Mencemari lingkungan sekitarnya terutama Sungai Bila dan permukiman sekitarnya.

–          Bergabung dengan kawasan permukiman dan lokasi bumi perkemahan pramuka.

–          Menciptakan pembiayaan operasional yang tinggi.

Matriks hasil wawancara dengan masyarakat di Kota Enrekang, sbb;

Tabel 2 Matriks Hasil Wawancara dengan Masyarakat Kabupaten Enrekang

No. Persepsi Masyarakat Jawaban responden
Jumlah %
1 Reatif Jauh dari Kota Enrekang 45 75,0
  Tidak setuju karena ekses  rendah 41 63,3
2 Mencemari Lingkungan Sekitarnya 57 95,0
3 Berdekatan dengan kawasan permukiman dan Bumi Perkemahan Pramuka 39 65,0
4 Menciptakan Biaya Operasional Yg Tinggi 32 53,3
B.   Tinjauan TPA Terhadap Kualitas Air Lingkungan

Untuk menilai air yang bersih, tidak hanya ditetapkan pada kemurnian saja, tetapi juga didasarkan pada keadaan normalnya. Apabila terjadi penyimpangan dari keadaan normal berarti air tersebut telah mengalami pencemaran. Keadaan normal tersebut tergantung dari kegunaan & asal sumber air.

Dalam penilaian kualitas air di kawasan TPA sampah dan sekitarnya di Kabupaten Enrekang ini, beberapa indikator air lingkungan yang diamati perubahan-perubahannya meliputi; (i) Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD5) dan (ii) Kandungan Bakteri E. Coli. Dalam pengamatan tersebut, diambil 24 sampel pada titik-titik sampel yang dianggap sebagai tempat-tempat rembesan air lindi dengan pertimbangan kondisi topografi, geologi dan jarak. Lebih jelasnya titik-titik pengambilan sampel, dapat dilihat pada gambar berikut.

Berdasarkan hasil pengujian sampel air pada 24 titik sampel yang dilakukan di Laburatorium Kimia Fakultas Teknik Universitas “45” Makassar, maka diketahui kondisi air lingkungan di TPA sampah Kabupaten Enrekang dan sekitarnya, sebagaimana pada tabel berikut;

Berdasarkan tabel tersebut, dapat diuraikan kondisi dan kualitas  air di TPA sampah dan sekitarnya, sebagai berikut;

Tabel 3. Karakteristik Sampel Air di Kawasan TPA Kabupaten Enrekang

No. Kode Jarak

(m)

BOD5

(mg/l)

Bakteri E-Coli

(MPN/100 ml

1 S1 0 327,60 77 X 102
2 S2 0 323,50 78 X 102
3 S3 5 242,20 62 X 102
4 S4 10 137,30 59 X 102
5 S5 22 112,80 59 X 102
6 S6 24 112,70 61 X 102
7 S7 30 110,20 57 X 102
8 S8 55 98,50 51 X 102
9 S9 67 52,30 46 X 102
10 S10 60 96,00 47 X 102
11 S11 80 96,00 42 X 102
12 S12 94 48,20 42 X 102
13 S13 88 47,00 27 X 102
14 S14 86 38,80 21 X 102
15 S15 90 38,80 77 X 102
16 S16 105 38,50 81 X 102
17 S17 120 33,10 82 X 102
18 S18 125 36,10 81 X 102
19 S19 100 27,80 95 X 102
20 S20 200 19,40 41 X 102
21 S21 200 19,10 96 X 102
22 S22 165 20,30 75 X 102
23 S23 126 19,50 99 X 102
24 S24 150 18,90 97 X 102

Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Fakultas Teknik  Univ. “45” Makassar


  1. 1.    Penilaian BOD5

Hasil pengujian kandungan BOD5 dalam air pada lokasi TPA sampah dan sekitarnya pada jarak antara 0-150 m menunjukkan bahwa kandungan BOD5 pada titik pengambilan sampel S1dan S13 menunjukan kandungan BOD5 berada di atas ambang batas. Kandungan BOD5 yang relatif cukup tinggi terutama terjadi pada sampel S1 dan S2 yaitu masing-masing 327,60 mg/l dan 323,50 mg/l. Pengambil sampel tersebut dilakukan dalam lokasi TPA sampah. Sementara itu, pada sampel S3 sampai dengan S7 cenderung menurun, tetapi masih dalam kategori cukup tinggi yaitu di atas 100 Mg/L. Selanjut dari  titik sampel S8 sampai dengan S13 kandungan BOD5 masih pada ambang batas yang tidak diperbolehkan, tetapi menunjukan penurunan yang relatif linier, bahkan pada sampel S9 terjadi penurunan yang cukup signifikan yaitu dari 98,50 mg/l pada S8 turun menjadi 52,30 mg/l pada S9.

Penurunan kandungan BOD5  yang cukup drastis pada sampel S9 disebabkan oleh kondisi lahan pada daerah tersebut merupakan lokasi pembuatan batu cipping yang telah dilengkapi saluran drainase di sekelilingnya serta sudah mengalami pemadatan yang maksimal, sehingga sulit terjadi perembesan air lindih pada lokasi tersebut.

Selanjutnya pada S10 kembali terjadi kenaikan BODdari 52,30 mg/l pada S9 menjadi 96,00 mg/l pada S 10. Kemudian dari sampel 10, sampel S11 sampai pada sampel terakhir 24 (S24)  terus mengalami penurunan. Penurunan kandungan BOD5 sampai mencapai titik di bawah ambang batas terjadi pada sampel S14 (kandungan BOD5 =38,80 mg/l) sampai pada S24 (kandungan BOD5 = 18,90 mg/l). 

Diagram hubungan kandungan BOD5 terhadap jarak diperlihatkan pada gambar berikut.

Grs. ambang batas diperbolehkan 

 

Gambar 2. Diagram Hubungan kandungan BOD5 air terhadap jarak.

Gambar diagram tersebut di atas menunjukkan sebaran pencemaran air yang cenderung linier pada kawasan TPA kecuali pada titik sampel 9 (S9) mengalami penurunan kandungan BOD5 yang relatif drastik.

Tingginya kandungan BOD5 di sekitar lokasi TPA tersebut merupakan konsekwensi dari belum adanya pengolahan sampah yang baik di TPA tersebut, misalnya tidak adanya drainase dan kolam oksidasi yang memadai pada kawasan tersebut, sehingga terbentuk genangan-genangan air lindih dan selanjutnya meresap ke dalam tanah.

Berdasarkan pola sebaran BOD5 dalam air di sekitar TPA,  menunjukan bahwa kondisi topografi dan jarak turut mempengaruhi sebaran pencemaran air di sekitar lokasi TPA.

  1. 2.    Penilaian Bakteri  E-Coli

Berdasarkan SK Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan, pengendalian Pencemaran Air, Udara, Penetapan Baku Mutu Limbah Cair, Baku Mutu Udara Ambien dan Emisi serta Baku Mutu Tingkat Gangguan Kegiatan yang Beroperasi di Propinsi Sulawesi Selatan, dalam penelitian ini akan digunakan parameter kualitas air kategori A yaitu parameter kualitas air pada kawasan permukiman dengan ukuran 16-200 Ha dengan kadar maksimal BODadalah 50×102 mg/l.

Hasil pengujian kandungan Bakteri E. Coli pada lokasi TPA pada jarak 0-150 m menunjukan pola sebaran relatif berfluktuasi. Pada titik sampel antara S1 (dalam lokasi TPA) – S18 (jarak 86 meter ke arah utara) kandungan Bakteri E. Coli relatif menurun secara linier. Diantara sampel tersebut, kandungan Bakteri E. Coli di atas ambang batas terjadi pada sampel S1 sampai dengan sampel S8, sedangkan sampel S9 sampai dengan sampel S14 kandungan Bakteri E. Coli Berada di bawah ambang batas. Namun demikian, pada sampel S15 (jarak 90 meter) – S24 (jarak 150 m) terjadi peningkatan kandungan Bakteri E. Coli yang cukup signifikan kecuali pada sampel S20 terjadi penurunan di bawah ambang batas. Peningkatan terutama terjadi pada sampel air di daerah permukiman khususnya pada sumur-sumur penduduk. Sedangkan penurunan secara drastis terjadi pada sampel S20 disebabkan karena lokasi pengambilan sampel yang dilakukan di seberang jalan (jalan tersebut membatasi titik sampel dengan perumahan dan TPA), sehingga pemadatan tanah oleh jalan menyulitkan perembesan ke titik sampel tersebut.

Pola sebaran Bakteri E. Coli tersebut di atas, menunjukan bahwa lokasi TPA berpengaruh terhadap kandungan bakteri E. Coli dalam air. Semakin jauh air dari lokasi TPA semakin kecil kandungan Bakteri E. Coli. Selain dari pengaruh jarak terhadap kandungan Bakteri E. Coli dalam air tersebut, kondisi topografi dan geologi lokasi penelitian turut berpengaruh terhadap sebaran Bakteri E. Coli dalam air di lokasi tersebut. Jenis batuan konglomerat yang terdapat pada lokasi penelitian memiliki porositas yang tinggi dalam menyebarkan cairan lindi yang mengandung Bakteri E. Coli bersumber dari TPA sampah tersebut. Demikian pula kondisi topografi yang relatif bergelombang menjadikan pola sebaran Bakteri E. Coli cenderung berfluktuasi.

Sementara itu, kandungan Bakteri E. Coli yang cenderungan meningkat pada sampel S15 sampai S24 (kecuali sampel S20), disebabkan oleh aktifitas masyarakat yang bermukiman di sekitar TPA tersebut seperti kondisi saluran air kotor rumah tangga dan jamban keluarga yang belum di desain dengan baik sehingga dengan mudah terjadi rembesan ke sumur-sumur penduduk dan air lingkungan di kawasan tersebut. Diagram sebaran Bakteri E. Coli diperlihatkan pada gambar berikut.

Grs. ambang batas diperbolehkan 

 

Gambar 3. Diagram hub. kandungan Bakteri E. Coli dalam air terhadap jarak.

V.  PENUTUP

A. Kesimpulan

  1. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui karakteristik fisik lokasi TPA sampah Kabupaten Enrekang, sebagai berikut;
    1. Struktur geologi TPA sampah Kabupaten Enrekang merupakan batuan konglomerat searah dengan kemiringan lahan, memudahkan rembesan lindih ke arah barat kawasan permukiman.
    2. Kondisi topografi pada lokasi TPA  relatif bervariasi membentuk kemiringan yang relatif terjal ke arah barat sampai ke Sungai Mila, mempercepat rembesan air lindih sampai kawasan permukiman sekitar Sungai Bila.
  2. Berdasarkan hasil penelitian, lokasi TPA sampah yang ada di Batu Mila tidak sesuai ditinjau dari aspek penataan ruang.
  3. Berdasarkan indikator BOD dan Bakteri E. Coli, menunjukan bahwa TPA sampah Kabupaten Enrekang telah mencemari air lingkungan di sekitarnya dampai radius 150 meter 
  4. Agar dilakukan studi lokasi TPA sampah di Kabupaten Enrekang.
  5. Sebaiknya lokasi TPA sampah di Kabupaten Enrekang tidak terpusat pada satu kawasan saja, tetapi terdistribusi berdasarkan kondisi geografis dan tipologi kota di Kabupaten Enrekang .
  6. Agar Masyarakat dan Pemda Kabupaten Enrekang memulai program pengomposan sampah organik dalam mendukung dan menciptakan program Sistem Pertanian Organik (Organic Farming) baik dalam skala individual maupun dalam skala Komunal (kelompok).

B. Rekomendasi

 

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1990. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Enrekang. Bappeda Kabupaten Enrekang.

Alswar, J.R.L. 1988. Pengantar Ilmu Gunungapi. Nova, Bandung.

Arifin F. 2001. Tinjauan Geohidrologi Sebagai Salah Satu Pertimbangan Dalam Pemilihan Lokasi TPA Sampah (Studi Kasus TPA Sampah Tamangapa Makassar). Tesis tidak  diterbitkan. Prorgam Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

A Warld Health Organitation Expert Committee. 1989. Enviromental Sanitary. Proc. Nat. Sym Therm. Poll. Vanderbilt University Press, Nashville, Tenn.

Azikin, S. 1980.  Dasar-Dasar Geologi Struktur. Departemen Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Azwar. A. 1989. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumber Widya,  Jakarta.

Budihardjo. E. 1999. Kota Berkelanjutan. Alumni, Bandung.

Damanhuri E. 1990. Penelitian Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah dan Pengelolaan Sampah Tepat Guna. Bandung.

Hidartan dan Handayana, 1994. Pemetaan Geomorfologi Sistematis Untuk Studi Geologi, Proceding Volume II. Pertemuan Ilmiah Tahunan XXIII Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Bandung.

Lahee, F.H. 1997. Field Geology. Sixth Edition, McGraw-Hill Book Company Inc. Kogakhusa Company, Ltd, New York, Toronto, London and Tokyo.

Madelan. 1997. Sistem Pengelolaan Sampah. Instalasi Penerbitan PAM-SKL, Ujungpandang.

Mustofa,H.A. 2000. Kamus Lingkungan. Rineka Cipta, Solo. 

Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta, Jakarta.

Ryadi, W. 1986. Pedoman Teknis Pengelolaan Persampahan. Direktorat  Penyehatan Lingkungan Permukiman, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Jakarta.

Ruslan H.P. (1988). Ekologi Lingkungan Pencemaran. Satya Wacana, Semarang.

Slamet R., 1984. Pencemaran Air. Karya Anda, Surabaya.

Soemarwoto, O. (1989). Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan, Bandung. 

Sudjana. 1992. Metode Statistika. Tarsito Edisi ke-6, Bandung.

Sulawesi II Urban Development Project Pekerjaan Umum. 1999/2000. Prosedur Pengoperasian Standar TPA Sampah., Departemen Pekerjaan Umum, Ujungpadang.

Tri C.S. 1998. Penelitian Secara Cepat Pencemaran Air, Tanah, dan Udara. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Unaradjan, U. 2000. Pengantar Metode Penelitian Ilmu Sosial. PT. Grasindo, Jakarta.

Vehoef, P.N.W. 1989. Geologi Untuk Teknik Sipil. Erlangga, Jakarta.

Wardhana W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset, Yogyakarta.

Yayasan LPMB. 1991. Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah. Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.

Yuliana.2001. Studi Pengelolaan Sampah di Kabupaten Enrekang Ditinjau Dari Aspek Pewadahan dan Pengangkutan. Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan Planologi Universitas 45, Makassar.

STUDI ARAHAN PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN

December 24, 2009

 

Abstrak

Kerusakan sungai umumnya disebabkan oleh hilangnya hutan di daerah hulu sebagai akibat dari penebangan pohon yang tidak diikuti oleh peremajaan kembali, peladangan yang berlokasi di daerah pinggiran sungai serta terjadinya sedimentasi yang diakibatkan oleh erosi berkepanjangan tanpa adanya pengendalian dan dapat berakibat terjadinya luapan banjir yang pada akhirnya menggenangi daerah perumahan dan permukiman penduduk. Permasalahan utama yang mengakibatkan kerusakan lingkungan sungai sebagai akibat adanya permukiman di sekitar bantaran sungai tanpa memperdulikan aturan sempadan sungai. Perubahan status sosial ekonomi masyarakat dan kekurangmampuan sebagian warga diduga dengan sendirinya akan berdampak pada peningkatan intensitas untuk bermukim disekitar bantara sungai dengan harapan dapat membuka lahan perkebunan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Disisi lain dengan terbukanya lahan disekitar bantara sungai akan menyebabkan mudahnya terjadi penurunan (degradasi tanah) dan semakin tingginya tingkat erosi yang dapat ditimbulkan. Untuk menjaga DAS Lawo, maka diperlukan arahan pengelolaan dan pemanfaatannya.

 


  1. A.     Pendahuluan

 

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu kawasan yang dibatasi oleh pemisahan topografi  yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh diatasnya kedalam suatu sistem pengaliran sungai atau tempat tertentu sesuai dengan kepentingan. Salah satu usaha pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan kaitannya dengan pengendlian aliran sungai adalah untuk memenuhi keselamatan penduduk dari bahaya ancaman banjir yang sewaktu-waktu dapat terjadi.

Kondisi demikian disebabkan oleh rusaknya system tata lingkungan pada daerah aliran sungai, terutama pada bagian hulu. Daerah hulu yang merupakan pengatur lingkungan  (condition environment), telah terjadi kerusakan lingkungan, sepeti: perambahan hutan lindung, perubahan fungsi lahan dari hutan menjadi kebun campuran, dari kebun menjadi lahan pemukiman, yang berakibat terhadap tingginya aliran permukaan (run-off), air hujan yang jatuh hanya sebagian kecil yang meresap kedalam tanah, dimana sebagian besar mengalir di permukaan yang menuju kesungai sebagai badan air. Kondisi demikian diperparah oleh adanya penambangan Galian C didaerah aliran sungai bahkan dibadan sungai, sehingga membuat ekosistem sungai rusak. Dampak air yang ditimbulkan adalah rendahnya debit air yang masuk di daerah irigasi pada musim kemarau, yang mengakibatkan berkurangnya luas lahan budidaya dari tahun ketahun. Kondisi ini kalau di biarkan terus berlangsun akan berdampak terhadap menurunnya produksi terutama sektor pertanian, yang merupakan salah satu sektor andalan kabupaten soppeng. Salah satu sungai yang terdapat di Kabupaten Soppeng  adalah Sungai Lawo yang melintasi di empat Kecamatan yaitu Kecamatan Lalabata, Donri-Donri, Ganra dan Kecamatan Lilirilau, dengan luas kawasan DAS ± 17.104.45  Ha. Untuk meminimalisir terjadinya kerusakan lingkungan di DAS Lawo, maka perlu di lakukan suatu kajian guna menyusun rencana pengelolaan kaitannya dengan alokasi berbagai kegiatan budidaya dan non budidaya yang dapat di lakukan dalam a DAS Lawo, dengan tujuan kondisi debit air pada musim kemarau dan musim penghujan tidak terlalu jauh berbedah dan pada saat musim hujan DAS tersebut tidak menimbulkan banjir yang dapat merugikan. Disamping untuk mendapatkan hasil ekonomis yang optimal dari hasil kegiatan budidaya tanpa merusak ekosistem lingkungan DAS Lawo.

Proses Pengendalian DAS Lawo bertujuan untuk mewujudkan rasa aman dikalangan masyarakat yang hidup di daerah sekitar aliran sungai dan melestarikan ekosistem, flora dan fauna serta jenis-jenis biota yang hidup didalam sungai. Dengan demikian pengendalian daerah aliran sungai pada prinsipnya ditujukan untuk meminimalkan ancaman banjir, kerusakan ekosistem sungai, kelestarian fungsi sungai dan yang terpenting adalah  tuntutan hidup masyarakat dapat berjalan sesuai dengan koridor untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya, jauh dari bahaya yang dapat diakibatkan oleh luapan air sungai yang sewaktu-waktu dapat terjadi.

  1. B.     Tujuan dan Sasaran Penelitian

1. Tujuan    

Tujuan pelaksanaan penelitian  pengelolaan dan pemanfaatan DAS Lawo sebagai berikut: Untuk menentukan konsep pengelolaan DAS Lawo, sehingga terjadi kesimbangan antara daerah budidaya dan non-budidaya dan untuk mempertahankan dan memperbaiki lingkungan sistem hidrologis Sungai Lawo.

3.  Sasaran Pekerjaan

Sasaran yang ingin dicapai dalam pelaksanaan studi arahan pengelolaan dan pemanfaatan  DAS Lawo sebagai berikut :

(1)  meningkatkan stabilitas tata air,

(2)  meningkatkan stabilitas tanah,

(3)  meningkatkan pendapatan petani, dan

(4)  meningkatkan perilaku masyarakat ke arah kegiatan konservasi.

  1. C.     Tinjauan Teoritis.

1.   Karakteristik DAS.

Air adalah salah satu sumberdaya alam yang memiliki sifat yang unik, dilihat dari kemampuannya untuk memugar diri (self restoring capability). Ditinjau secara setempat air dapat menyusut atau habis, akan tetapi secara keseluruhan air tidak akan habis selama faktor-faktor pembentuknya tetap ada dan tetap berfungsi. Air dapat disebut sebagai sumberdaya yang mengalir (flowing resources), sehingga tidak dapat diperlakukan sebagai suatu “static resources”, tetapi sebagai suatu  “dynamic resources”,. Pada dasarnya DAS merupakan suatu wilayah yang menampung air, menyalurkan air tersebut dari suatu aliran ke seperangkat aliran tertentu dari hulu ke hilir dan berakhir di suatu tubuh/badan air bumi seperti danau atau laut.

DAS juga merupakan suatu gabungan sejumlah sumberdaya darat. Sumberdaya yang menjadi unsur suatu DAS ialah iklim, geologi atau sumberdaya mineral, tanah, air, flora dan fauna, manusia, dan berbagai sumberdaya budaya, sedemikian rupa sehingga DAS dapat dikatakan merupakan suatu sumberdaya yang bergatra ganda dan terdiri atas berbagai macam sumberdaya tunggal. Tiap sumberdaya pembentuk DAS memerlukan penanganan yang berbeda-beda tergantung pada watak, kelakuan dan kegunaan masing-masing.

  1. 2.      Pengelolaan DAS.

Pengelolaan DAS biasanya ditujukan kepada pengelolaan dua unsurnya yang dianggap penting, yaitu sumberdaya tanah dan sumberdaya air. Unsur-unsur lain seperti; iklim, vegetasi, dan manusia diperlakukan sebagai faktor-faktor dalam pengelolaan. DAS dapat dibagi menjadi dua satuan pengelolaan yakni satuan pengelolaan DAS hulu mencakup seluruh daerah tadahan atau daerah kepala sungai, dan satuan pengelolaan DAS hilir mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah bawahan. Pengolahan DAS hulu ditujukan untuk mencapai hal-hal berikut;

a)      Mengendalikan aliran permukaan lebih yang merusak sebagai usaha pengendalian banjir.

b)      Memperlancar infiltrasi air ke dalam tanah,

c)      Mengusahakan pemanfaatan aliran permukaan untuk maksud-maksud yang berguna bagi kesejahteraan manusia,

d)      Mengusahakan semua sumberdaya air dan tanah untuk memaksimumkan produksi

Perlakuan terhadap DAS hulu merupakan bagian terpenting dari keseluruhan pengelolaan DAS karena hal itu akan menentukan manfaat-manfaat besar yang dapat diperoleh atau peluang yang terbuka dalam pengelolaan DAS hilir. Pada prinsipnya DAS hulu perlu dikelola dengan penekanan utama sebagai fungsi konservasi.

Perlakuan terhadap daerah hilir akan menentukan seberapa besar manfaat yang secara potensial dapat diperoleh dari pengelolaan daerah hulu akan benar-benar terwujud. Dengan kata lain, pengelolaan daerah hilir bertujuan meningkatkan daerah tanggapnya terhadap dampak pengelolaan DAS hulu. Pengelolaan DAS hilir dengan demikian mempunyai peranan melipatgandakan pengaruh perbaikan yang telah dicapai di DAS hulu. Menurut pandangan ekologis, maka daerah hulu dikelola sebagai daerah penyumbang, atau lingkungan pengendali (conditioning environment)  dan daerah hilir sebagai daerah penerima (acceptor) atau lingkungan konsumen. Seperti telah diuraikan sebelumnya, model matematik yang mewakili suatu sistem selalu meliliki unsur-unsur sebagai berikut (Mize and Cox, 1968): Berdasarkan hal tersebut diatas, jumlah air didalam tiap komponen input, output, dan laju transfer dapat dapat digambarkan dalam tabel 1.

Tabel: 1.

Keadaan Sistem Hidrologi DAS

Komponen (1) (2) (3)
Banyaknya Komponen X1 X2 X3
Input a1 a2 a3
Output Z1 Z2 Z3
Transfer ke Komponen (1) (2) (3)
                                   (1) F12 0
Transfer dari komponen (2) F21 F23
                                   (3) 0 F32

 

  1. 3.      Tata Guna lahan dan Perilaku DAS.

Tata guna lahan memiliki keterkaitan dengan sumberdaya air DAS dalam beberapa aspek sebagai berikut;

a)      Tata guna lahan memberikan dampak terhadap curah hujan. Lahan yang penuh ditutupi kanopi pepohonan akan dapat meningkatkan curah hujan sekitar 5 – 6 %.

b)      Tata guna lahan berdampak besar terhadap kelembaban tanah. Lahan yang tertutup dengan pepohonan menyebabkan berkurangnya radiasi dan tiupan angin dipermukaan tanah, sehingga tanah menjadi lebih lembab.

c)      Tutupan kanopi pepohonan yang rapat dapat mengurangi debit banjir dengan periode ulang pendek, meningkatkan aliran dasar (base flow), serta meningkatkan pengisian air tanah.

d)      Pengolahan yang tidak tepat dapat meningkatkan erosi dan pengendapan sedimen, akibatnya kerusakan yang ditimbulkan oleh banjir menjadi berlipat ganda dan umur reservoir menjadi lebih pendek. Upaya penghijauan  dan konservasi lahan lebih efektif untuk pengurangan sidementasi dan debit air/banjir.

e)      Tata guna lahan juga memberikan dampak terhadap kualitas air.

  1. 4.      Hutan dan Pengaruhnya bagi Air.

a)      Ekosistem Hutan Alam

Struktur hutan yang masih utuh terdiri dari pohon-pohon yang sangat besar dan tinggi sampai kepada pohon-pohon Perdu dan tumbuhan yang merambat yang semuanya tersusun dalam lapisan tujuk yang rapat. Hutan yang masih utuh terdiri dari strata-strata atau lapisan-lapisan tajuk. Lapisan-lapisan tajuk ini terbentuk sebagai akibat dari persaingan dimana pada akhirnya jenis-jenis tertentu akan lebih dominan dari pada jenis yang lain. Pohon-pohon yang tinggi pada lapisan teratas akan mengalahkan pohon-pohon yang lebih rendah, dan merupakan jenis-jenis yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan.

b)      Peredaran Air.

  1. Intersepsi.

Intersepsi merupakan suatu proses dimana sebagian dari curah hujan  tertahan leh tajuk pohon dan sebagian besar diuapkan kembali ke udara. Air hujan yang ditahan oleh tumbuhan selain diuapkan kembali dari permukaan tanah, juga dalam jumlah yang kecil mungkin di absorbsi melalui daun ke dalam jaringan tanaman (Jeffrey, 1964).

Apabila jumlah dan intensitas curah hujan rendah, maka sebagian besar dari air hujan akan ditahan oleh tajuk dan langsung diluapkan kembali ke udara. Hal ini berarti  bahwa untuk curah hujan yang kecil, persentase yang diintersepsi akan besar. Sebaliknya apabila jumlah dan intensitas curah hujan besar maka persentase yang diintersepsi akan menjadi kecil. Dalam penelitian Malchanov (1963) pada tegakan spurce (Picea sp) yang lebat daunnya, ternyata dapat mengintersepsi lebih dari 68% curah hujan yang tidak lebat.

  1. Air Lolos (Throughfall)

Air lolos adalah bagian dari curah hujan yang mencapai permukaan tanah melalui lapisan tajuk. Sebelum mencapai permukaan tanah, air ini telah melalui suatu struktur lapisan tanah yang rapat, mulai dari lapisan pohon-pohon yang dominan sampai pada lapisan semak belukar dan serasah. Dengan demikian kecepatan dan besarnya butir-butir hujan yang mencapai tanah sudah sedemikian kecil sehingga tidak lagi merupakan bahaya bagi kerusakan tanah.

  1. Aliran Batang (Stemflow)

Aliran batang adalah bagian dari curah hujan yang mencapai permukaan tanah melalui batang pohon. Aliran batang dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain yang terpenting adalah architektur pohon, struktur tegakan (stratifikasi), kulit batang dan letak serta posisi daun.

Pengukuran stemflow pada suatu hutan selalu hijau yang rapat di Balnco (Huttel, 1962) pada petak seluas 300 meter persegi dengan 16 pohon yang masing-masing dipasangi saluran plastik berbentuk spiral pada dasar batang menunjukkaan bahwa aliran batang kurang dari 1% air lolos (UNESCO, 1978).

  1. Penguapan (Evapotranspiration)

Penguapan merupakan proses perubahan face cair menjadi uap. Proses ini berlangsung pada berbagai permukaan air, tanah tanaman untuk kemudian terlepas ke atas atmosfir sebagai uap air. Laju penguapan sangat dipengaruhi oleh radiasi, suhu, kelembaban, kecepatan angin, tekanan udara di atmosfir dan jumlah air yang tersedia untuk diuapkan. Dikemukakan selanjutnya bahwa terdapat korelasi antara evatranspirasi total dengan kedalaman akar. Perakaran yang dalam dari jenis-jenis pohon menyebabkan evapotranpirasi lebih besar dibandingkan  dengan jenis-jenis  herbal yang mempunyai perakaran dangkal. Hal ini sangat penting  diperhatikan dalam menentukan luas hutan lindung didaerah-daerah dengan ketinggian yang tinggi. Hubungan ketinggian dan evapotranspirasi telah diukur seperti tabel di bawah ini :

Tabel 2.

Evapotranspirasi pada berbagai ketingggian

Ketinggian

(m, dpl)

0 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000
Evapotransp.

mm/hr

4,36 3,79 3,29 2,85 2,49 2,16 1,85
Evapotransp

mm/tahun

1.590 1.380 1.200 10,40 9,10 7,90 6,80

Sumber :  Ramsay, D.M. (ed). 1976..

  1. D.     Gambaran  DAS Sungai Lawo
  2. 1.      Topografi

Ketinggian di wilayah hulu DAS Lawo ± 100 meter dpl, bagian tengah DAS ± 180 – 500 meter dpl, dan bagian hilir DAS ± 32 meter dpl. Wilayah DAS Sungai Lawo, lereng/kemiringan berkisar dari lereng 0% hingga lereng > 45%. Untuk kemudahanya lereng dikelompokkan menjadi 5 kelas, yaitu: Lereng 0 – 7%, Lereng  8 – 15%, Lereng 15 – 25%, lereng 26 – 45% dan Lereng > 45%. Sedangkan bentuk lereng memanjang (U – S), dan panjang lereng > 50 m.

  1. 2.      Geologi dan Jenis Tanah

Wilayah DAS Lawo terdapat jenis tanah Alluvial kelabu tua, gromosol, mediterian coklat, mediterian coklat regosol, dan litosol yang tersebar dari hulu – hilir. Sedangkan tekstur tanah berfariasi dari hulu – hilir DAS. Bagian hulu DAS tekstur tanah antara lain: lempung berpasir dan liat berpasir. Tengah DAS antara lain: liat berpasir dan lempung berpasir. Sedangkan tekstur tanah di bagian hilir DAS antara lain: lempung berpasir, lempung berliat, dan liat.

  1. 3.      Hidrologi dan Klimatologi

Kondisi hidrologi DAS lawo berdasarkan data dari Dinas PSDA Kabupaten Soppeng  debit sungai rata-rata per 15 Agustus 2007  adalah 427, 64 (L/det). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dimana lebar badan sungai  berfariasi antara 8 – 30 m, kecepatan air rata-rata 41 – 54 detik, sedangkan kedalaman sungai antara 10 – 100 cm. sedangkan genangan yang terjadi di wilayah DAS lawo berupa genangan permanen, priodik, dan temporer. Genangan sebagian besar terjadi dibagian hilir DAS terutama  disekitar pinggiran danau tempe. Sedangkan di bagian hulu DAS tidak terdapat genangan.

Temperatur udara di Kabupaten Soppeng berada  sekitar ± 24 0  sampai 30 0 . Keadaan angin berada pada kecepatan lemah sampai sedang. Curah hujan Kabupaten Soppeng pada tahun 2005 berada pada intensitas 90,54 mm dan 9,9 hari hujan/bulan. Rata-rata curah hujan menurut bulan di Kabupaten Soppeng tertinggi terjadi pada bulan Maret yaitu 295 mm dan yang terendah yakni bulan Agustus dan Oktober yakni 0 (tidak hujan), sedang rata-rata hari hujan di Kabupaten Soppeng tertinggi bulan April 19,6 hari dan terendah bulan Agustus dan Okotober yakni 0 (tidak hujan). Kondisi ini menyebar merata keseluruh wilayah Kabupaten Soppeng, termasuk wilayah DAS Lawo.

  1. 4.      Erosi dan Sedimentasi

Aktifitas penduduk didaerah sekitar DAS secara tidak terkendali akan memberikan dampak terhadap perubahan kondisi fisik sungai terutama dalam bentuk erosi dan transpor sedimentasi dan akan berlanjut dengan proses pendangkalan dibagian dasar sungai sehingga akan mempengaruhi pola aliran air sungai baik di bagian hulu, tengah, maupun di bagian hilir DAS. Kondisi DAS sungai lawo terutama dalam bentuk erosi dan sedimentasi, dimana bagian hulu DAS ditemukan beberapa bagian sungai yang sudah mengalami perubahan fisik dalam bentuk erosi.

  1. 5.      Struktur dan Tipologi DAS
  • Daerah Hulu DAS

Karakteristik hulu DAS Lawo secara umum merupakan kawasan hutan lindung yang memiliki kerapatan hutannya baik dan sampai saat ini masih tetap dipertahankan fungsi hutannya terutama penduduk yang bermukim disekitar hulu DAS  sebagai kawasan yang dapat memberikan perlindungan dibagian hulu hingga hilir DAS, namun di beberapa bagian sungai terutama kondisi fisik sungai telah mengalami perubahan alur sungai yang dapat mempengaruhi pola aliran air sungai yang tidak mengikuti  alur sungai yang sebenarnya di mana aliran air mengalir dibagian kiri kanan sungai dan membentuk delta di bagian tengah sungai.

  • Daerah Tengah DAS

Bagian tengah DAS  merupakan daerah transisi antara bagian hulu dan hilir DAS, kaitannya dengan hubungan antara bagian hulu dan hilir DAS melalui daur hidrologi tidak terlepas dari peranan bagian tengah DAS, sehingga dalam proses penanganannya perlu diperhatikan  pula guna menjaga keberlangsungan hubungan antara hulu, tengah, dan hilir DAS dalam menjalankan fungsi hidrologinya.  Kondisi fisik bagian tengah DAS, dibeberapa tempat  telah mengalami perubahan dalam bentuk alur air sehingga air tidak mengalir di bagian tengah sungai, bahkan terjadi kering di bagian tengah sungai.

  • Daerah Hilir Das

Kondisi bagian hilir DAS Lawo dari segi fisik sungai umumnya sudah mengalami degradasi  terutama dalam bentuk sedimentasi. kondisi ini dibiarkan berlanjut terus menerus maka akan berlanjut dengan proses pendangkalan di bagian tengah sungai dan akan mengganggu keberlangsungan ekosistem pada hilir DAS itu sendiri.

E.  Analisis Wilayah DAS Lawo

  1. Analisis geomorfologis

Ketinggian merupakan salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap suhu udara. Ketinggian di wilayah hulu DAS Lawo ± 100 meter dpl, bagian tengah DAS ± 180 – 500 meter dpl, dan bagian hilir DAS ± 32 meter dpl.Wilayah DAS Sungai Lawo, lereng/kemiringan berkisar dari lereng 0 – 7% hingga lereng > 45%. Sedangkan bentuk lereng memanjang (U – S), dan panjang lereng > 50 m, sebagaimana pada tabel 3.

Tabel: 3.

Klasifikasi dan Luas Lereng di Wilayah DAS Lawo

   No Klasifikasi Luas

(Ha)

%
1 0 – 7 11.863,92 69
2 8 – 15 486,34 3
3 16 – 25 2.502,46 15
4 25 – 45 1.391,19 8
5 >45 860,54 5
Jumlah 17.104. 45 100

Sumber: Hasil Analisis Tim Perencanaan 2007

Apabila dianalisis lebih lanjut maka kondisi lereng 0 – 7% sebagian besar penutupan lahannya adalah sawah dan rawa, sehingga untuk pemanfaatan lahannya dapat diperuntukan sebagai budidaya lahan kering ataupun lahan basa dan permukiman. Lereng 8 – 15% sebaiknya diperuntukan sebagai budidaya lahan kering atau lahan basah. Lereng 16 – 25% pemanfaatannya sebaikknya sebagai budidaya tanaman tahunan/tanaman semusim jenis vegetasi berupa cengkeh, kopi, cokelat, dan lainnya vegetasi tersebut berfungsi sebagai jalur hijau juga bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Lereng 25 – 45% vegetasinya tetap dipertahankan selain itu juga dapat di manfaatkan sebagai budidaya tanaman tahunan yang berbasis pada huta rakyat, agrovorestri dan hutan kemasyarakatan. Sedangkan lereng  >45% vegetasinya tetap dipertahankan dan dilestarikan, karena berfungsi sebagai kawasan penyangga, pengaturan tata air, dan kawasan lindung, selain itu juga kondisi lereng ini dapat terjadi tanah longsor sehingga kelestariannya tetap dijaga.

  1. Analisis geohidrologis.

Geohidrologis dimaksudkan untuk mengetahui kondisi berupa kerapatan drainase, debit air sungai, dan genangan. Analisis ini sebagai dasar indikator dalam mengetahui kondisi hidrologis wilayah DAS Lawo, guna merumuskan strategi penanganan dan arahan pemanfaatannya.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dimana lebar badan sungai  berfariasi antara 8 – 30 m, kecepatan air rata-rata 41 – 54 detik, dan kedalaman sungai antara 10 – 100 cm. sedangkan genangan yang terjadi di wilayah DAS Lawo berupa genangan permanen, priodik, dan temporer. Genangan sebagian besar terjadi dibagian hilir DAS terutama  disekitar pinggiran danau tempe. Sedangkan di bagian hulu DAS tidak terdapat genangan. Kerapatan drainase adalah panjang aliran sungai per kilometer persegi luas DAS seperti tercantum dalam rumus di bawah ini:

Dd =  L/A

 

Dd=  Kerapatan Drainase (km/km)

=  Panjang Aliran Sungai (km)

A  =  Luas DAS (km2)

Dari hasil analisis yang dilakukan diperoleh kerapatan drainase wilayah DAS Lawo adalah 0,386 km/km. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sistem pengaliran (drainase) DAS Lawo dalam kondisi sudah terganggu (tidak normal), artinya jumlah air larian total semakin besar, sehingga tingkat infiltrasi yang terjadi di wilayah DAS Lawo akan semakin kecil. Kondisi ini perlu adanya upaya-upaya penanganan yang harus dilakukan seperti pemantapan fungsi kawasan lindung terutama penghijauan kembali pada daerah-daerah yang kategori vegetasinya sudah dalam kondisi yang tidak diharapkan, serta pengaturan kembali pola penggunaan lahan di wilayah DAS lawo guna menghindari kemungkinan dampak negatif yang akan terjadi. Sedangkan dari data yang diperoleh maka Besarnya kecepatan permukaan aliran sungai (Vperm dalam m/dt) dapat dihitung dengan rumus:

Vperm = L/t

 

L Jarak Antara dua Titik Pengamatan (m)

t  =  Waktu Perjalanan Benda Apung (detik)

Dari hasil perhitungan diatas maka diperoleh kecepatan permukaan aliran sungai rata-rata adalah 1,06 m/dt. Berdasarkan data di atas dan hasil perhitungan kecepatan permukaan aliran rata-rata maka besarnya debit air dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Bernoulli  atau sering juga dikenal sebagai the continuity equation. Pada persamaan ini nilai Q diperoleh dari perkalian antara kecepatan aliran V (m/dt) dan luas penampang melintang A (m2) atau secara matematis:

Q = A V

 

 

Q =   Debit (m3/dt)

A =   Kecepatan Aliran (m/dt)

V =  Luas Penampang Melintang   (m2)

Dari hasil analisis yang dilakukan maka diperoleh debit air rata-rata DAS Lawo adalah 9,328 m3/dt.

Tabel: 4.

Jenis dan Luas Genangan di Wilayah DAS Lawo

No Jenis Genangan Luas (Ha)
1 Permanen 76,53
2 Periodik 845,46
3 Temporer 307,13
4 Non Genangan 15.875,33
          Jumlah 17.104.45

Sumber: Hasil Analisis Tim Perencanaan  2007.

  1. 3.      Analisis Jenis Tanah

Wilayah DAS Lawo terdapat jenis tanah Alluvial kelabu tua, gromosol, mediterian coklat, mediterian coklat regosol, dan litosol yang tersebar dari hulu hingga hilir. Sedangkan tekstur tanah bervariasi. Bagian hulu dan tengah DAS tekstur tanah berupa lempung berpasir dan liat berpasir.  Sedangkan tekstur tanah di bagian hilir DAS antara lain lempung berpasir, lempung berliat, dan liat.

Bagian hulu DAS terdapat jenis tanah mediterian coklat regosol dan litosol, jenis tanah ini mudah tererosi karena teksturnya berupa pasir berlempung sehingga penutupan lahannya harus tetap di jaga untuk menjaga agar tidak terjadi erosi/tanah longsor. Bagian tengah DAS terdapat jenis tanah gromosol dan mediterian cokelat. Di mana jenis tanah ini adalah jenis tanah subur, karena mempunyai lapisan atas/soluin tanah yang dalam ± 100 cm, sehingga memungkinkan untuk budidaya tanaman jangka panjang. Sedangkan jenis tanah yang terdapat di bagian hilir DAS adalah alluvial kelabu tua. Jenis tanah ini merupakan hasil dari proses endapan lumpur dari hasil sedimentasi yang terjadi, sehingga sifatnya relatif subur, yang sesuai untuk lahan/kegiatan budidaya lahan basah.

  1. Analisis Geologi

Berdasarkan pengamatan tim dilapangan ditemukan beberapa titik yang terdapat erosi dan longsor terutama  di bagian hulu DAS yang mempunyai kelerengan kisaran 25 sampai >40, kondisi ini diduga sebagai akibat lemahnya struktur geologi, dan keberadaan vegetasi kurang mengimbangi kondisi struktur geologi yang ada sehingga mudah terjadinya erosi dan longsor. Hal ini perlu adanya upaya penanganan berupa pemilihan jenis vegetasi yang akan dibudidayakan harus memiliki sistem perakaran yang dapat mendukung struktur geologi yang ada.

5.  Analisis Potensi SDA

a.  Analisis SDA Kehutanan

Pada kawasan hulu DAS status hutan sebagian besar adalah hutan lindung, sehingga kedepan kawasan hutan tersebut tetap dijaga dan dilestarikan, karena kawasan ini merupakan daerah resapan dan penyimpanan air, disisi lain kerapatan pohon sudah mulai berkurang, disebabkan karena terjadinya penebangan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan belum sadar akan pentingnya pelestarian hutan, sehingga masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang fungsi pelestarian lingkungan disekitarnya, dan harus dipertegas dengan aturan yang ada, dimana bagi oknum masyarakat yang merusak kawasan hutan tanpa memiliki dasar yang jelas harus diberikan sanksi berdasarkan peraturan yang berlaku.  Sedangkan pada kawasan DAS tengah dan hilir DAS seluruh kawasan bukan hutan lagi melainkan kawasan budidaya, sehingga pemanfaatan lahan di daerah tersebut harus memperhatikan kaidah-kaidah konservasi agar pemanfaatannya  tidak merusak lingkungan ekosistem wilayah DAS.

b.  Analisis SDA Pertanian

Pembukaan lahan pertanian di wilayah daerah aliran sungai (DAS) harus dilakukan dengan tetap  memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan sehingga tidak akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan seperti erosi, pencemaran air, perubahan siklus hidrologi, dan meningkatnya laju sedimentasi. Kegiatan pertanian lahan basah adalah kegiatan pertanian yang memerlukan air terus menerus sepanjang tahun, dengan komoditas utamanya adalah padi sawah (wetland rice). Pertanian lahan basah memerlukan kedalaman efektif tanah minimal 60 cm. Produktifitas dan kualitas mutu panen cenderung menurun bila kedalaman efektif tanah menurun. batas ambang kedalaman efektif tanah ini adalah 30 cm. Sedangkan tekstur tanah yang terbaik bagi jenis pertanian lahan basah adalah tanah yang berliat, berdebu halus, sampai berlempung halus. Tanah yang berkuarsa sangat tidak sesuai untuk pengembangan pertanian kecuali kandungan kuarsanya sedang. Dari hasil analisis yang dilakukan di wilayah DAS Lawo, terdapat penyebaran lahan yang sesuai bagi pengembangan budidaya pertanian lahan basah, terutama dalam hal tekstur tanah dan kedalaman efektif tanah.

c. Analisis Sumberdaya Air

Potensi Sungai Lawo sebagai sumber air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan perlu dikelola dengan baik terutam dalam hal pengaturan berbagai pemanfaatan lahan yang ada disekitar Sungai Lawo agar dampaknya  tidak mengganggu kondisi hidrologi sungai baik dari segi fisik sungai, kuantitas, maupun kualitas air, sehingga dapat dimanfaatkan dalam berbagai kebutuhan seperti sumber air bersih, pertanian, perikanan, peternakan, dan berbagai kebutuhan lainnya.

6.  Analisis Aliran Sungai Lawo

a.  Analisis DAS Hulu

Bagian hulu DAS biasanya memiliki karakteristik antara lain; merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase  tinggi, kelerengan diatas 15 %, bukan daerah banjir, jenis vegetasi adalah tegakan hutan. Pemanfaatan potensi sumberdaya hutan dan sumber daya lahan berupa perambahan hutan dan perladangan di suatu wilayah DAS yang cenderung meningkat tanpa mengikuti kaida-kaidah konservasi akan memberikan dampak positif terhadap DAS dalam menjalankan fungsinya sebagai tempat penyediyaan sumber air dapat terganggu. Kondisi hulu DAS Lawo umumnya didominasi oleh kawasan hutan lindung yang berperan penting dalam mendukun proses hidrologi DAS masih tetap terjaga, namun kenyataannya terdapat adanya perambahan hutan yang kemudian dijadikan sebagai perladangan masih tetap terjadi. Untuk itu perlu adanya  tindakan berupa sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat agar masyarakat menyadari pentingnya fungsi hutan dan bahaya terjadinya kerusakan lingkungan berupa erosi dan tanah longsor.

b.  Analisis DAS Tengah.

Pemanfaatan potensi  sumberdaya lahan seperti perladangan tanpa mengikuti kaida-kaidah konservasi tanah dan air misalnya penggunaan input (pupuk dan pestisida) yang berlebihan akan berimplikasi langsung terhadap kandungan unsur pada tanah dan akan berpengaruh kepada daya dukung tanah sehingga tanah mudah tererosi dan juga berpengaruh terhadap penurunan kualitas air tanah, juga penebangan vegetas di daerah pinggiran sungai untuk perluasan areal perladangan dapat memberikan tingkat erosi yang terjadi di wilayah DAS.

Aktifitas penduduk di sekitar bantaran sungai yang cenderung meningkat tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konserfasi tanah dan air, akan menimbulkan berbagai problem lingkungan seperti erosi yang dapat mempengaruhi produktifitas lahan, dan  memberikan dampak terutama di daerah hilir DAS dalam bentuk transpor sedimentasi yang akan mengganggu sistem hidrologi DAS. 

c.  Analisis DAS hilir.

Karakteristik hilir DAS memiliki ciri antara lain; merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase kecil, kelerengan dibawah 8 %, dibeberapa daerah merupakan daerah banjir, pemakaian air diatur oleh bangunan irigasi, jenis vegetasi didominasi oleh tanaman pertanian.

Bagian hilir DAS disamping sebagai daerah pemanfaatan juga sebagai daerah penadah tentunya akan menanggung berbagai resiko yang terjadi di suatu wilayah DAS. Banjir yang terjadi di wilayah DAS lawo umumnya terdapat di bagian hilir DAS, dimana pada musim hujan banjir dapat merusak areal persawahan bahkan sampai ke pemukiman penduduk, tinggi banjir yang terjadi ± 1 m.

Sedimentasi sebagai hasil dari proses erosi yang terjadi di DAS dapat menyebabkan terjadinya pendangkalan pada sungai, bendungan, waduk, saluran-saluran irigasi, dan muara-muara sungai karena adanya sedimentasi ditempat tersebut. 

Berdasarkan kondisi di atas maka perlu adanya upaya-upaya yang harus dilakukan seperti pengaturan berbagai aktifitas terutama di wilayah hulu DAS agar tidak mengganggu fungsi kawasan hutan lindung, dan peningkatan fungsi sistem irigasi yang ada, serta pengaturan penggunaan air irigasi agar dapat mengairi semua sawah yang ada di wilayah  DAS Lawo secara umum dan khususnya wilayah hilir DAS sebagai daerah pemanfaatan berbagai aktifitas.

7.  Analisis Pengemb. Wisata.

  1. a.      Pengembangan Wisata Air.

DAS Lawo khususnya di bagian hulu DAS  memiliki potensi air yang masih mengalir sepanjang tahun dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wisata air, potensi ini dapat dilakukan melalui upaya pembangunan waduk tangkap yang fungsinya menampung air yang berasal dari bagian hulu, disamping untuk kebutuhan sistem irigasi juga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pariwisata (wisata air) berdasarkan daya dukung kawasan.  

  1. b.      Pengembangan Agrowisata

Pengembangan agrowisata pada suatu lokasi perlu dilakukan kajian lokasi secara matang, seperti;  (i) pemilihan berdasarkan Karakteristik alam, dan (ii) Pemilihan berdasarkan potensi wilayah. Aktifitas penduduk di wilayah DAS lawo yang pada umumnya adalah petani, dengan memanfaatkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam melakukan kegiatan pertanian seperti pada waktu tiba musim panen padi dikenal dengan kebiasaan (massangki) dimana masyarakat berkelompok untuk memanen padi, serta bentuk keindahan alam tentunya sangat memiliki potensi untuk pengembangan Wisata Agro di wilayah DAS Lawo.

c.  Pengembangan Ekowisata.

DAS Lawo terutama di bagian hulu DAS, memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata. Hal ini di tandai dengan adanya berbagai keunggulan-keunggulan yang dimiliki berupa keindahan alam pegunungan,  keberadaan satwa, salah satunya adalah monyet yang tersebar khususnya di wilayah hulu DAS Lawo serta potensi lain yang dapat dikembangkan dalam mendukung pengembangan potensi ekowisata dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat dan lingkungan ekologis di DAS Lawo agar lebih lestari.

F.  Strategi Pengelolaan dan Pemanfaatan DAS Lawo

1. Arahan Strategi Penanganan DAS.

Mengacu pada PP No. 22 tahun 1982 tentang tata pengaturan air, dinyatakan bahwa pendekatan dalam pengembangan, perlindungan dan penggunaan sumberdaya air didasarkan atas pendekatan wilayah sungai. DAS sendiri merupakan suatu kesatuan wilayah tata air yang terbentuk secara alamiah yang mengalir dari permukaan tanah ke sungai dari hulu hingga hilir, yang akan banyak dipengaruhi oleh kondisi vegetasi  pada setiap bagian dari daerah alirsan sungai tersebut.

a.  Strategi Penanganan DAS Hulu

Berdasarkan aspek ekologi daerah hulu dikelola sebagai daerah penyumbang (donor) atau sebagai lingkungan pengendali (conditiong environment). DAS hulu merupakan seluruh daerah tadahan/kepala sungai, proses penanganan ini berupa;

  • Meningkatkan kemampuan fungsi retensi DAS hulu terhadap aliran permukaan melalui pemantapan fungsi kawasan lindung.
  • Mengendalikan aliran permukaan lebih yang merusak sebagai usaha mengendalikan banjir.
  • Memperlancara infiltrasi air ke dalam tanah.
  • Mengusahakan pemanfaatan aliran permukaan untuk maksud yang berguna bagi kesejahteraan manusia.
  • Mengusahakan semua sumberdaya air dan tanah untuk memaksimalkan produksi.
  • Mempertahankan dan melestarikan hutan lindung yang terdapat di satuan pengelolaan DAS Hulu.
  • Meminimalisir tingkat erosi dan longsor yang terjadi melalui pendekatan Eko-Enggineering dengan memanfaatkan vegetasi setempat.

 

b.  Strategi Penanganan DAS Tengah                                                                                                                             

Bagian tengah DAS  merupakan daerah transisi antara bagian hulu dan hilir DAS, kaitannya dengan hubungan antara bagian hulu dan hilir DAS melalui daur hidrologi tidak terlepas dari peranan bagian tengah DAS, dengan strategi berupa;

  • Meningkatkan fungsi retensi DAS tengah melalui pengembangan prasarana pengairan berupa waduk tangkap dalam menahan air yang mengalir dari arah hulu DAS, serta menjaga keberadaan vegetasi sekitarnya dalam membantu kemampuan retensi  terhadap aliran permukaan.
  • Menentukan dan menyesuaikan jenis budidaya yang dapat dikembangkan pada setiap unit lahan.
  • Menentukan sistem budidaya yang dapat dilakukan pada setiap permukaan lahan.
  • Mencegah atau mengendalikan banjir dan sedimentasi sehingga tidak merusak atau menurunkan kemampuan lahan.

 

c. Strategi Penanganan DAS Hilir

Berdasarkan tinjauan aspek ekologi, DAS hilir merupakan daerah penerima (acceptor) atau lingkungan konsumsi. DAS hilir mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah bawahan. Proses penanganannya berupa;

  • Mencegah atau mengendalikan banjir dan sidementasi sehingga tidak merusak atau menurunkan kemampuan lahan.
  • Meningkatkan daya guna air dari sumber-sumber air tersedia.
  • Memperbaiki pengaturan pemanfaatan lahan untuk meningkatkan kemampuan lahan.
  • Meliorasi tanah dan kalau perlu dilakukan  reklamasi tanah.

2.  Arahan Pemanfaatan Lahan.

a.  Rencana Kawasan Lindung.

Sebagai kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, terdapat dibagian hulu DAS yaitu berupa kawasan hutan lindung. Luas kawasan lindung yang merupakan kawasan DAS hulu seluas 860,56 hektar dengan vegetasi adalah hutan, sedangkan  DAS hulu yang merupakan daerah lindung namun vegetasinya bukan hutan, maka harus dihutankan kembali dengan vegetasi tanaman yang sesuai seperti kemiri dan sukun. Dengan tujuan disamping bernilai lingkungan juga bernilai ekonomis.

Kawasan Perlindungan setempat meliputi garis sempadan sungai, waduk tangkap, dan kawasan sekitar mata air, dimana proses pengaturannya dilakukan mulai dari hulu hingga ke hilir DAS Lawo.

b.  Rencana Pemanfaatan Budidaya.

Berdasarkan potensi yang terdapat di wilayah DAS Lawo terutama potensi pertanian yang dominan, maka dilakukan rencana pemanfaatan kawasan budidaya yang meliputi budidaya lahan kering dan lahan basah.

  • Budidaya Lahan Kering.

Arahan pemanfaatan lahan dengan kegiatan budidaya lahan kering, merupakan jenis tanaman yang dapat dibudidayakan seperti kelapa dalam, kemiri, bambu, kakao, kopi, dan lainnya. Pengembangannya  diarahkan di daerah DAS tengah, sedangkan di daerah hulu DAS bisa dikembangkan jenis budidaya berupa kemiri, jambu mente, lada, dan tembakau, namun harus memperhatikan keberadaan kawasan hutan lindung yang ada sehingga tidak terganggu fungsi lindungnya.

  • Budidaya Lahan Basah.

Berdasarkan pola penyebaran jenis tanah terutama dalam hal tekstur dan kedalaman efektif tanah, maka jenis budidaya pertanian lahan basah (padi sawah) pengembangannya terutama diarahkan di daerah hilir dan di daerah tengah DAS. 

3.  Arahan Prasarana Lingkungan.

a.  Rencana Pengembangan Waduk.

Prasarana lingkungan berupa waduk tangkap, rencana pengembangannya diarahkan pada daerah perbatasan antara hulu dan tengah DAS, dimana lokasi ini sebelumnya masuk dalam rencana pembangunan waduk tangkap, namun dalam rencana ini diupayakan agar waduk tersebut selain berfungsi untuk menunjang kegiatan seperti pertanian dan berbagai pemanfaatan lainnya juga berfungsi sebagai tempat wisata yang berskala lokal.

b.  Rencana Irigasi.

Sedangkan prasarana irigasi, diarahkan pada daerah-daerah yang memiliki potensi dominan berupa jenis pertanian lahan basah terutama di daerah hilir dan tengah DAS, dengan mempertimbangan kapasitas sistem irigasi yang ada sehingga dapat mengaliri semua areal sawah. 

4.  Arahan Prasarana Wisata.

a.  Pengembangan Wisata Air.

DAS Lawo khususnya di bagian hulu DAS  memiliki potensi air yang masih mengalir sepanjang tahun dapat dimanfaatkan untuk pengembangan wisata air. Pengembangan wisata ini diarahkan pada daerah yang memiliki potensi untuk dibangun prasarana air berupa waduk tangkap yang fungsinya menampung air yang berasal dari bagian hulu, disamping untuk kebutuhan sistem irigasi juga dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan pariwisata (wisata air) dengan berdasarkan kepada daya dukung kawasan. 

b.  Pengembangan Agrowisata.

Prospek pengembangan agrowisata di wilayah DAS Lawo mempunyai peluang yang baik mengingat potensi yang ada sangat beragam dan khas. Perpaduan antara kekayaan komoditas agraris dengan bentuk keindahan alam dan budaya masyarakat setempat merupakan kekayaan obyek wisata yang amat bernilai. Aktifitas penduduk di wilayah DAS Lawo yang pada umumnya adalah petani, cenderung terdapat di daerah tengah dan hilir. Dengan demikian pengembangan agro wisata diarahkan di daerah tengah dan hilir DAS, dengan memanfaatkan potensi pertanian yang ada dan kebiasaan masyarakat dalam melakukan kegiatan pertanian seperti pada waktu tiba musim panen padi dikenal dengan ”massangki” dimana masyarakat berkelompok untuk memanen padi, serta bentuk keindahan alam tentunya sangat memiliki potensi untuk pengembangan Wisata Agro di wilayah DAS Lawo.

c.  Pengembangan Ekowisata.

Ekowisata merupakan kegiatan pariwisata atau wisata terbatas yang memanfaatkan tatanan, nilai dan fungsi ekologi sebagai obyek dan tujuan kepariwisataan. Konsep ini lahir akibat keprihatinan dan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan yang terancam oleh pembangunan, serta ekowisata menjadi alat bagi penyadaran terhadap upaya pelestarian lingkungan yang tidak mungkin mengorbankan masyarakat yang tinggal dan hidup didalam atau sekitar kawasan lingkungan.

Pengembangan ekowisata DAS Lawo diarahkan pada daerah-daerah yang memiliki potensi pengembangan, terutama di bagian hulu DAS, memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata yang meliputi keindahan alam pegunungan,  keberadaan satwa liar, salah satunya adalah monyet yang tersebar di wilayah hulu DAS Lawo serta potensi lain yang dapat dikembangkan dalam mendukung pengembangan potensi ekowisata dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat dan lingkungan ekologis di wilayah DAS Lawo agar lebih lestari.

5.  Arahan Sistem Permukiman.

a.   Areal Permukiman di Daerah Hulu.

Keberadaan pemukiman di daerah hulu DAS perlu diperhatikan agar tidak mengganggu fungsi kawasan lindung. Agar tidak mengganggu fungsi kawasan dan wilayah DAS secara keseluruhan, maka diperlukan upaya-upaya  penanganan pelarangan perluasan kawasan pemukiman serta penyiapan lokasi pemukiman yang layak dalam berbagai aspek agar penduduk setempat dapat direlokasi ke tempat yang disiapkan.   

b.  Areal Permukiman di Daerah Hilir.

Penanganan pemukiman di luar daerah hulu diarahkan terutama pada daerah tengah dan hilir DAS, dimana proses penanganannya berupa pengaturan garis sempadan sungai, larangan pembuangan sampah ke dalam sungai serta pengaturan fungsi kawasan lainnya yang dapat dilakukan agar penduduk dapat terhindar dari berbagai resiko lingkungan berupa banjir dan erosi agar lingkungan wilayah DAS dapat terjaga dalam mendukung berbagai pemanfaatan.

  1. G.    Rekomendasi.

Berdasarkan hasil kajian DAS Lawo, maka terdapat beberapa rekomendasi yang harus dilakukan untuk dapat mengelola dan melindungi DAS Lawo, sehingga dapat lebih berkelanjutan, sebagai berikut;

1)      Pengelolaan dan perlindungan DAS Lawo harus dilakukan secara terpadu, karena berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 kawasan DAS merupakan kawasan strategis lingkungan yang senantiasa harus dilindungi.

2)      Diprediksi DAS Lawo sepuluh tahun kedepan, apabila tidak dilakukan perbaikan dan perlindungan DAS Lawo, maka akan terjadi kerusakan yang lebih parah.

3)      Masyarakat yang bermukim dalam kawasan lindung, seharusnya direlokasi pada suatu tempat dalam bentuk transmigarasi lokal.

4)      Untuk dapat mempercepat implementasi, maka sebaiknya dilakukan sosialisasi, terutama kepada masyarakat yang bermukim dalam wilayah DAS Lawo.

5)      Pengelolaan dan perlindungan DAS Lawo harus menjadi komitmen bersama seluruh stakeholder.

6)      Pembangunan Waduk tangkap, harus memperhatikan kepemilikan lahan yang termasuk dalam areal rencana waduk, sehingga dapat dilakukan lebih manusiawi.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C., 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Asdak, C., 1990. Biophysical relationships needed to perform economic evaluation of watershed management program, Padjajaran University Press, Bandung.

Brooks, K.N., P.F. Folliott, H.M., 1994. Policies for sustanaibel Development. The role of watershed management. The environment and natural resources policy adn training project. New York.

Black, P.E., 1991. Watershed Hydrology. Prentice Hall, Englewood  Cliffs, New Jersey.

Easter, K.W., 1985. Integrated watershed management research for developing countries. East- West center Worshop report. Honolulu H.I.

Gray, D.M., 1970. Handbook on the principles of hydrology, National Research Council of Canada.

Sungai

X3

Vegetasi

X1

PENANGANAN BANJIR DAN KEKERINGAN

December 24, 2009

ABSTRAK

Besarnya kerugian akibat kekeringan di beberapa daerah sangat memprihatinkan, karena nilainya cukup besar. Berdasarkan beberapa kejadian kekeringan diperoleh informasi bahwa kekeringan dapat mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan, kabu asap, terbatasnya penyediaan air bersih, berkurangnya air untuk prtanian, perikanan, peternakan dan terganggunya transportasi air.

A. Pendahuluan

    Indonesia merupakan negara beriklim tropika humida (humid tropic) yang pada musim hujan mempunyai curah hujan tinggi. Akibatnya di beberapa tempat terjadi banjir yang banyak menimbulkan kerugian baik nyawa maupun harta benda. Kerugian ini akan semakin besar kalau terjadi di kota-kota besar yang padat penduduknya. Untuk mengurangi kerugian tersebut telah banyak usaha penanggulangan banjir yang dilakukan seperti pembuatan tanggul banjir, tampungan banjir sementara, pompanisasai air banjir, sudetan sungai, dll.

    Usaha pengendalian banjir tersebut belum memberikan hasil yang memuaskan, karena  kejadian banjir terus meningkat dari waktu ke waktu.  Fenomena ini sudah kita sadari, karena proses kejadian banjir memang sangat komplek, baik itu proses di lahan maupun di jaringan sungainya.  Oleh karena itu penanggulangan banjir tidak dapat dilepaskan dari pengelolaan DAS,  dan sumberdaya air secara keseluruhan.

    Di sisi lain banjir merupakan salah satu sumberdaya alam yang cukup besar potensinya. Apabila air banjir pada musim hujan dapat ditampung dan disimpan, sehingga dapat menurunkan debit banjir, maka pada saat kekeringan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup manusia dan keperluan lain seperti irigasi, pembangkit tenaga listrik, perikanan dan pariwisata. Dengan demikian, usaha pengendalian banjir yang dilakukan sekaligus dapat mengurangi kerugian akibat kekeringan.

    Uraian di atas menunjukkan bahwa peristiwa banjir dan kekeringan sangat merugikan kehidupan manusia. Penanggulangan kedua bencana tersebut terus diupayakan dengan berbagai cara, namun nampaknya masih dilakukan secara terpisah. Pengendalian banjir dan pananganan kekeringan secara terpadu nampaknya akan memberikan hasil lebih baik.

    B.   Pembahasan

    1.  Banjir

      Banjir adalah peristiwa keberadaan air mengalir melampaui kapasitas perangkat pengaliran yang disediakan/tersedia dan mengalir di luar kemampuan perangkat itu. Dalam konteks ini air menimbulkan gangguan akibat pengalirannya atau genangannya pada tempat-tempat yang tidak disediakan untuknya. Di Indonesia ada beberapa factor penting penyebab terjadinya banjir :

      a. Faktor Hujan

        Intensitas hujan sangat berpengaruh pada besarnya debit puncak banjir. Semakin tinggi intensitas hujan maka semakin tinggi pula debit banjirnya. Hal ini dapat difahami,  terutama jika telah banyak melakukan analisis banjir dengan model-model yang tersedia. Perlu mendapat perhatian pada penggunaan rumus Rasional, yaitu pada kondisi durasi hujan yang lebih pendek dari waktu konsentrasinya. Pada kondisi tersebut nilai debit puncak ditentukan oleh sebagian luas DAS, karena hujan diseluruh DAS belum teratus.

        Kejadian hujan dalam beberapa hari berturut-turut, justru dapat menimbulkan banjir, walaupun intensitas hujannya tidak terlalu besar. Hal ini disebabkan oleh kondisi tanah yang telah dibasahi hujan sebelumnya menurunkan kemampuan menginfiltrasi air. Pada kondisi tanah dengan kelengasan tinggi atau jenuh air, infiltrasi memang masih berjalan, namun nilainya cukup kecil, sehingga hampir seluruh hujan menjadi aliran dan dapat menimbulkan banjir.

        Hujan deras yang terjadi pada suatu hari dimana hari-hari sebelumnya tidak hujan sering tidak menimbulkan bnajir. Pengaruh kelengasan tanah awal pada debit banjir sudah difahami, namun belum dirumuskan dengan baik. Oleh karena itu menarik untuk dikaji pengaruh kelengasan tanah awal pada kejadian banjir.

        b. Faktor DAS

          Daerah Aliran Sungai adalah daerah tangkapan air hujan yang akan mengalir ke sungai yang bersangkutan. Perubahan fisik yng terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Semakin banyak lahan terbuka, atau terbangun semakin kecil kemampuan retensinya.

          Kejadian banjir di Sorong tanggal 18 Juli 2003 (www.kompas.com.) adalah akibat penggundulan hutan di sekitarnya. Kerugian banjir diperkirakan sebesar 2,8 milyar rupiah. Bandung selatan mengalami banjir pada 27 Mei 2004 (w.w.antara.co.id.), sehingga jalur jalan Majalaya – Bandung terputus. Genangan air mencapai 50 cm – 80 cm. Banjir ini diestimasikan akibat pemotongan bukit-bukit di sekitar Bandung selatan untuk permukiman dan kawasan industri.

          Berubahnya kawasan retensi banjir untuk Jakarta menjadi permukiman, daerah terbuka (jika ada tanaman, hanya perdu), industri dll., mengakibatkan banjir yang terjadi meningkat. Pada th 2003, kejadian banjir diperparah dengan adanya peningkatan elevasi muka air laut. Hal tersebut diperparah dengan pola penyebaran permukiman yang menyebar, sehingga daya rusak terhadap ekologis dan lingkungannya lebih tinggi.

          c. Faktor Alur Sungai

            Upaya pengendalian banjir yang selama ini dilakukan berupa kegiatan fisik/struktur yang berada di sungai (in stream) dengan tujuan untuk melindungi dataran banjir yang telah berkembang. Pengendalian banjir tersebut dengan membangun prasarana dan sarana seperti pembuatan tanggul, normalisasi alur sungai, sudetan, saluran drinasi, tampungan air (waduk), polder, dll.

            Pada umumnya, prasarana dan sarana pengendali banjir direncanakan untuk 10 sampai 100 th, sedang sistem drainasi 2 sampai 10 tahun. Data yang digunakan dapat berupa data hujan maupun aliran yang terekam pada kondisi DAS saat itu. Apabila kondisi DAS di Indonesia dapat digolongkan stabil, prediksi debit dengan kala ulang tersebut tentu saja tidak akan menjadi masalah. Namun kenyataannya, Daerah Aliran Sungai yang ada memiliki tataguna lahan yang tidak stabil, bahkan cenderung mengalami kerusakan. Tingkat kerusakan DAS bervariasi mulai dari kecil, sedang sampai besar/kritis yaitu pada tingkat yang sudah mengkhawatirkan.

            Oleh karena itu, prediksi nilai debit dengan kala ulang tertentu yang diperoleh pada saat perencanaan sudah tidak relevan lagi pada saat ini. Hal ini terjadi jika Daerah Aliran Sungainya mempunyai luas area terbuka yang meningkat. Peningkatan debit banjir mengakibatkan prasarana dan sarana yang ada tidak mampu menampung aliran yang terjadi.

            Aspek pendangkalan yang terjadi di alur sungai juga merupakan salah satu sebab terjadinya banjir. Adanya pendangkalan alur sungai, tampang sungai menjadi berkurang sehingga daya tampung alirannya menurun pula. Proses pendangkalan ini dapat terjadi akibat erosi tebing dan dasar sungai maupun akibat erosi lahan di Daerah Aliran Sungai.

            Persoalan banjir menjadi semakin rumit jika di alur sungai terdapat rintangan-rintangan arus baik oleh alam maupun buatan manusia seperti :

            Penampang pengaliran sempit karena formasi geologi yang keras

            Adanya ambang alam yang keras

            Belokan tajam pada sungai akan menimbulkan arus menyilang yang berbahaya

            Bangunan silang sengan sungai dengan rongga terlalu sempit

            Pertemuan antara dua sungai atau lebih dengan arus saling merintangi

            Faktor-faktor di atas perlu mendapatkan perhatian cukup serius dalam penanganan masalah banjir, sehingga dapat memberikan hasil yang baik.

            2. Kekeringan

              Kekeringan merupakan salah satu bentuk kondisi ekstrim dan kejadian alam yang kejadiannya tidak dapat dihindari serta karakteristiknya masih menyimpan ruang yang luas untuk dipelajari dan dikaji lebih mendalam. Kekeringan seringkali ditanggapi dengan pemahaman yang berbeda-beda.

              Batasan atau kriteria kekeringan sampai sekarang belum disepakati secara luas. Hal ini menunjukkan bahwa kekeringan merupakan kejadian yang spesifik pada suatu wilayah. Namun demikian, ada beberapa tipe kekeringan yang akan ditunjukkan untuk dapat digunakan sebagai acuan.

              a. Kekeringan Meteorologis

                Tipe kekeringan ini paling mudah untuk diidentifikasi dan difahami. Suatu wilayah dapat dikatakan mengalami kekeringan meteorologis apabila hujan tahunan rerata yang terjadi tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk evapotranspirasinya atau dapat juga dibandingkan dengan temperaturnya. Tidak ada batasan mengenai berapa lama hari/bulan tanpa hujan atau berapa banyak kekurangan air.

                Kekeringan meteorologis didasarkan pada kriteria kuantitatif berupa indeks kekeringan. Selanjutnya indeks kekeringan dapat digunakan sebagai indikator dalam menetapkan klasifikasi tingkat kekeringan suatu wilayah.

                Indeks Kekeringan Menurut De Martonne

                dengan :

                P = curah hujan tahunan rerata (mm),

                T = temperatur tahunan rerata,

                a = indeks kekeringan.

                Menurut De Martonne, suatu wilayah yang memiliki nilai a < 15 dikategorikan sebagai wilayah kering. Metode ini dianggap masih mengandung kelemahan karena mengabaikan pengaruh variasi musiman dan amplitudo harian dari temperatur di wilayah kering.

                Indeks Kekeringan Menurut Thornthwaite (1948)

                Metode ini mengukur kekeringan suatu wilayah berdasarkan nilai evapotranspirasi potensial (Eto), didefinisikan sebagai jumlah penguapan dari suatu wilayah yang tertutup tumbuhan dengan kecukupan air untuk terjadinya penguapan maksimum menurut kondisi klimatologi. Evapotranspirasi potensial ini dihitung berdasarkan rumus Thornthwaite  sebagai fungsi emperatur rerata bulanan. Apabila jumlah hujan tahunan rerata lebih kecil dari Eto tahunan, maka wilayah tersebut merupakan daerah semi kering.

                Indeks kekeringan menurut UNESCO (1979)

                Menurut UNESCO tingkat kekeringan diukur berdasarkan nilai evapotranspirasi potensial Eto yang dihitung menurut rumus Penman. Nilai ini dibandingkan dengan tinggi curah hujan tahunan rerata (P).

                < 0,03

                Wilayah Super Kering

                0,03 <   <    0,20                          wilayah kering

                0,20 <   <    0,50                          wilayah semi kering

                b. Kekeringan Hidrologi

                  Kekeringan tipe ini merefleksikan kondisi sistem air dalam suatu wilayah baik untuk air permukaan maupun air bawah permukaan. Kekeringan hidrologis dapat dilihat dari debit aliran rendah (lowflow), tampungan air di danau/waduk, tampungan dalam tanah dsb. Kondisi kekerinan hidrologi tidak selalu terjadi secara bersamaan dengan kekeringan meteorologis. Kadangkala ada daerah yang mengalami kekeringan meteorologi tetapi kalau dipandang dari sisi hidrologi sebenarnya tidak mengalami kekeringan. Tetapi pada umumnya, apabila terjadi kekeringan hidrologi maka secara meteorologi juga mengalami kekeringan.

                  c. Kekeringan Pertanian

                    Kekeringan pertanian merefleksikan kekurangan lengas tanah yang dibutuhkan oleh tanaman untuk hidup (evapotranspirasi). Respon tanaman terhadap kondisi lengas tanah sangat bervariasi. Sebagian tanaman mampu bertahan hidup dan tumbuh dalam kondisi lengas tanah yang rendah, tetapi ada juga tanaman yang membutuhkan lengas tanah tinggi untuk bertahan hidup. Beberapa batasan kondisi lengas tanah untuk tanaman yaitu kondisi jenuh, kapasitas lapang, titik layu awal dan titik layu permanen. Kondisi lengas tanah ini berdampak langsung pada produktifitas tanaman.

                    Nampak bahwa kekeringan yang terjadi dapat merupakan interaksi berbagai tipe kekeringan yang menambah kesulitan pengertian tentang kekeringan. Namun secara umum dapat dirangkum bahwa kekeringan adalah peristiwa terjadinya kesenjangan antara ketersediaan air dan kebutuhannya di masing-masing wilayah dan untuk tiap-tiap penggunaan.

                    Contoh daerah yang mengalami kekeringan yaitu di Jawa Barat pada Juni 2003. Sawah seluas 24.802 ha mengalami kekurangan air dengan status berat dan ringan, sedang 345 ha puso (www.pikiran_rakyat.com).

                    Kekeringan yang melanda Pulau Jawa terutama disebabkan oleh berkurangnya luas hutan dan meningkatnya penggunaan lahan non hutan. Kesimpulan ini dipeoleh Aris Poniman dari hasil penyusunan neraca sumberdaya hutan dan lahan (www.swara.net). Peningkatan lahan non hutan dapat mengakibatkan kekeringan karena keseimbangan ekosistem dalam suatu DAS terganggu. Aris mengingatkan perlunya masyarakat lebih waspada akan kemungkinan sering terjadinya banjir, tanah longsor dan tentu saja kekeringan.

                    3. Penanganan Banjir dan Kekeringan Secara Terpadu

                      Banjir, sebagaimana diketahui, adalah persoalan kelebihan air, sementara kekeringan adalah persoalan kekurangan air. Fenomena bahwa banjir semakin meningkat dari waktu ke waktu, sementara debit musim kemarau semakin menurun sudah difahami bersama. Salah satu contoh kodisi tersebut ditunjukkan pada kejadian aliran di sungai Cidanau dari tahun 1998 – 2000 sebagai berikut :

                      Gambar 1. Fluktuasi debit rata-rata bulanan Sungai Cidanau


                      Mengingat fenomena di atas, alangkah baiknya jika penanganan kedua persoalan tersebut dapat dilakukan secara terpadu.

                      Penanganan banjir melalui peningkatan retensi banjir dapat dilakukan dengan cara program penghijauan yang menyeluruh baik di perkotaan maupun perdesaan, pemeliharaan reservoir-reservoir alamiah dan pembuatan resapan-resapan yang dapat memasukkan air hujan sebanyak-banyaknya ke dalam tanah. Tanah diharapkan dapat menjadi tampungan air sementara dan secara perlahan-lahan air dialirkan ke sungai sehingga tidak menimbulkan banjir di hilir. Manfaat langsung peningkatan retensi ini adalah terjaganya konservasi air di DAS, muka air tanah dapat diharapkan stabil, sumber air terpelihara, kebutuhan air untuk berbagai keperluan terpenuhi.

                      Contoh penanganan banjir dan kekeringan secara terpadu dapat diuraikan sebagai berikut.

                      Daerah Industri Cilegon

                        Sungai Cidanau terletak di Daerah Cilegon, Jawa Barat yang bermuara di Selat Sunda. Sungai ini sering membanjiri daerah Industri Cilegon dan sekitarnya. Disisi lain pada musim kemarau, daerah pantai tersebut kesulitan mendapatkan air bersih. Untuk mengatasi kesulitan air bersih dan mengurangi besarnya debit banjir, PT Krakatau Tirta Industri membuat waduk Krenceng yang letaknya 27,2 km dari Sungai Cidanau.


                        Gambar 2. Sketsa tata letak waduk Krenceng

                        U
                        WTP
                        Wd.Kreuceng


                        Air baku untuk kebutuhan air bersih diambil dari Sungai Cidanau dengan lokasi intake 700 m dari Selat Sunda di Kecamatan Cinangka. Dari intake air dipompa menuju waduk Krenceng yang merupakan penyimpanan cadangan air baku. Kapasitas waduk tersebut yaitu 2,5 juta m3. Dari waduk air dialirkan ke Water Treatment Plant Krenceng dengan kapasitas pengolahan 2000 lt/dt.

                        Terbangunnya sistem pengadaan air bersih di daerah Cilegon tersebut dapat mengatasi kesulitan air bersih dan sekaligus dapat mengurangi besarnya debit banjir, sehingga genangan yang sering terjadi dapat menurun.

                        Pengendalian Banjir Sungai Bengawan Solo Hulu dan Penyediaan Air Irigasi

                          Pengendalian banjir Sungai Bengawan Solo Hulu dilakukan dengan pembuatan   waduk Wonogiri yang terletak ± 2 km sebelah selatan kota Wonogiri. Waduk ini mulai beroperasi pada th 1982. Catchment areanya sebesar 1350 km2 dan kapasitas tampungan 650 juta m3. Waduk ini direncanakan untuk mengurangi debit banjir sebesar 4000 m3/detik menjadi 400 m3/detik (Nippon Koei Co., Ltd, 1978). Daerah banjir yang dapat dibebaskan seluas ± 11.000 ha, dan yang paling utama adalah pembebasan daerah Surakarta yang padat penduduk.

                          Selain untuk pengendalian banjir waduk juga dimanfaatkan untuk irigasi. Daerah Irigasi yang mendapatkan air dari waduk Wonogiri meliputi wilayah Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, Sragen dan Klaten dengan luas 23.200 ha. Namun dengan berjalannya waktu, areal irigasi di Kabupaten Sukoharjo dan Karanganyar banyak yang beralih fungsi menjadi perumahan atau industri. Oleh karena itu PDAM Surakarta akan memanfaatkan air Bengawan Solo untuk air baku dalam penyediaan air bersih bagi Kodya Surakarta.

                          Daerah Aliran Sungai Goseng

                            Daerah Aliran Sungai Goseng merupakan ordo pertama sungai Samin yang bermuara di Sungai Bengawan Solo. Luas area DAS Goseng = 5.96 km2. Daerah Aliran Sungai ini terletak pada 7°39¢32² – 7°45¢ 08² LS dan 110°59¢02² – 111°2¢15² yang ditunjukkan pada Gambar 3.

                            Permasalahan yang ada di DAS Goseng yaitu dibukanya lahan dengan kemiringan yang terjal sebagai tegal oleh masyarakat setempat. Sehingga nilai koefisien aliran dan erosi lahan meningkat, yang ditandai dengan meningkatnya nilai debit puncak dan kekeruhan air sungai Samin.

                            Usaha penambahan luas hutan diaplikasikan pada DAS Goseng, dengan harapan dapat memberikan tambahan air ke dalam tanah dan mengurangi erosi lahan. Lahan tegal dengan kemiringan 25 – 65% dicoba untuk di hutankan kembali dengan skenario 5, 10, 15, 20 % luas DAS menjadi hutan atau tanpa reboisasi tetapi seluruh tegal dengan kemiringan tersebut di buat teras. Kejadian hujan yang digunakan dalam analisis yaitu kejadian pada tanggal 14 Januari 1997. Hasil analisis menunjukkan adanya penurunan debit puncak, yang berarti ada penambahan volume air ke dalam tanah sebagai ditunjukkan pada Gambar.

                            Informasi yang dapat diperoleh dari analisis ini bahwa adanya penghutanan kembali DAS memberikan harapan bahwa besarnya cadangan air tanah untuk berbagai kebutuhan dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu. Harapan ini tentunya akan lebih mudah terwujud  jika dapat dilakukan reboisasi secara serempak.

                            Gambar 3. Penurunan debit puncak dengan adanya skenario reboisasi

                            Gambar 5. Prediksi penambahan volume air akibat penghutanan kembali DAS

                            C. Daftar Pustaka

                              Agus Maryono, 2002, Banjir Terus Menerus di Indonesia dan Tinjauan Eko-Hidrolis, Seminar Permasalahan Banjir di Indonesia, HMS UAJY dan HATHI, Yogyakarta

                              Krakatau Tirta Industri, PT., 2001, Proyeksi Kebutuhan Air Bersih Untuk Industri Cilegon dan Sekitarnya serta Kualitas dan Kuantitas Sungai Cidanau, Cilegon.

                              Rachmad Jayadi, 2000, Prinsip Dasar Pengelolaan Kekeringan, Kursus Singkat Sistem Sumberdaya Air Dalam Otonomi Daerah II, Jur. Teknik Sipik UGM, Yogyakarta

                              Sudjarwadi dan Fuad Bustomi, 2002, Perencanaan Pengembangan dan managemen Sumberdaya Air untuk Mengantisipasi Kekeringan DAS Mahakam, Seminar Pengendalian Kekeringan DPS Mahakam, Kalimantan Timur

                              Siswoko, 2002, Mampukah Sarana dan Prasarana Pengendali Banjir dan Sistem Drainasi Membebaskan Dataran Banjir dari Ancaman Banjir dan Genangan, Seminar Permasalahan Banjir di Indonesia, HMS UAJY dan HATHI, Yogyakarta